Selasa, 27 Oktober 2015

Karena Aku Tak Sanggup Kehilanganmu

Penantian Bob hampir setengah jam di pelataran parkir terbayar dengan sempurna. Teriknya matahari siang itu tidak dapat mengalahkan kilau Festi yang bergegas berjalan keluar gedung kantornya, bahkan menambah kemilau pada rambutnya yang sekarang panjang. Festi terlihat celingak celinguk di parkiran mobil, sambil merogoh handphone dari sakunya.
Suara di ujung sana terdengar gelisah, “Di mana Beib?”
“Nama gue Bob, bukan Beib,” kelakar Bob.
“Well, okay. Jangan harap gue pake panggilan mesra lagi, jadiii di mana Bob?”
“Parkir motor,” jawab Bob sambil menyeringai menahan senyuman.
Setahun tidak bertemu tidak menyurutkan cinta di antara mereka. Mereka terpisah kota, karena Bob diterima bekerja di Jakarta, di perusahaan IT yang bergengsi pula. Itu bagus untuk Bob dan juga mereka, agar pundi untuk keperluan resepsi pernikahan mereka cepat terisi penuh. Berbeda dengan Bob, Festi belum ingin terpisah jauh dari Ibunda, sehingga memutuskan tetap tinggal di kota kelahiran mereka, Padang.
“Mau puas-puasin dekat dengan Bunda sebelum menikah dengan Bob dan pindah ke Jakarta,” begitu jawab Festi setiap kali ada yang bertanya mengapa mereka LDR Resikonya yaa... tidak bisa setiap hari bertemu dengan kekasih hatinya, sehingga pertemuan kembali setelah terpisah jarak selama setahun ini sungguh berarti.
“Helm-nya mana Beib? Kamu jemput aku pake motor, kok nggak bawa helm? Lah kamu sendiri juga kok nggak pake helm ke sini?”
Bob kali ini bukan hanya terpana dengan Festi yang menurutnya semakin cantik dengan rambut panjangnya (dulu Festi berambut pendek dan sengaja memanjangkan rambut demi Bob), akan tetapi juga bingung dengan jiwa gahar Festi yang sirna. Dari dulu, kalau naik motor yah begini aja, tinggal cusss, mana pernah mereka pakai-pakai helm.
“Duh, udah deh. Kita makan di warung itu saja, ntar kenapa-kenapa di jalan, mana kamu suka ngebut lagi,” cerocos Festi sambil menunjuk warung kecil di depan gerbang pabrik.
“Beib, jangan kaku gitu dong ah. Aku bela-belain dari bandara langsung ke rumah, ehh mobil dibawa Mama. Yang ada motor, langsung aku samber, terus ke sini saking kangennya sama kamu, lah kamu cuma ajak makan di warung depan pabrik yang ramai teman-teman kamu. Apa kita nggak bisa punya privasi sebentar berdua gitu?”
“Tapi...”
“Lagian kan,” potong Bob, “Kita berdebat gini buang waktu tau? Kamu mau dimarahin Boss kamu telat balik ke kantor?”
Miris deh kalau Festi harus merusak segenap usaha Bob untuk bertemu secepat mungkin dengannya, dan dengan berat hati, berdoa supaya nggak ada karyawan pabrik yang melihat bahwa Safety Staff mereka lagi naek motor nggak pakai helm.
***
Untungnya momen makan siang mereka terjalin cukup indah untuk dikenang, tanpa perdebatan tentang sengketa pakai-helm di parkiran tadi. Kenyang dan penuh canda tawa, apalagi yang kurang?
Bergegas mereka akan segera kembali ke Kawasan Pelabuhan Teluk Bayur tempat Festi bekerja, tetapi waktu seakan berhenti, freeze.
Kejadian itu begitu cepat, sekejap mata, dan sangat mengerikan. Tubuh pengemudi motor itu terseret di bawah mobil truk. Suasana hening kemudian bertukar menjadi hingar, banyak yang datang ingin menolong ataupun sekedar ingin tau.
“Kepalanya pecah, nggak pakai helm sih,” kata seorang ibu-ibu yang baru kembali dari kerumunan. Festi dan Bob serempak bergidik mendengarnya.
“Memang udah nasibnya,” komentar seorang Bapak datar.
Hmm, untuk bagian ini Festi agak kurang setuju. Bob menarik tangannya dan mengerjapkan matanya untuk memberi tanda kepada Festi agar tidak usah banyak berkomentar.
“Tapi Beib,” suara Festi terdengar sangat tidak ikhlas. Tampaknya dia nggak mau diam, dan untuk mengungkapkan ketidaksetujuannya, dia berceloteh pada Bob. “Takdir itu memang ada, kita memang harus pasrah, tetapi kita juga harus berusaha demi keselamatan kita, bukannya main hajar aja terus kalau kenapa-kenapa menyalahkan nasib kan?”
Bob mengangguk. Festi banyak berubah, pola pikirnya mungkin terbentuk sejak dia berkutat di bidang keselamatan kerja.
“Ya, bener juga sih Beib, tapi semuanya udah terjadi kan? Mau diapain lagi Beib, paling bisa pasrah saja, terima nasib, gitu kali maksud Bapak tadi.”
“Tapi Beib, itu adalah mindset yang salah. Dari awal udah salah. Harusnya mau berkendara atau ngapa-ngapain itu dipikir dulu, udah aman belum. Misalkan kalau hari hujan aja, kita kepikiran keluarin jas hujan supaya nggak terkena hujan lalu sakit. Gitu juga kalau mau belok kita ngidupin lampu sen, itu kan bagian tertib berlalulintas, mematuhi aturan untuk keselamatan diri sendiri dan orang lain. Iya kalau kita yang melanggar aturan sebagai akibatnya kita yang kenapa-napa, tapi kalau sampe orang lain yang ikut kenapa-napa karena keteledoran kita? Nah repot juga kan, mesti tanggung jawab, belum lagi kalau korban nyawa, mau ganti apa, sama nyawa kita gitu? Nggak bakal bisa juga kali.”
“Tapi kita bisa buat apa Beib, semuanya sudah terjadi, sudah nasib orang itu. Yuk ah, lama-lama di sini ngapain, ntar kamu sewot lagi kalau aku ngebut!” kata Bob menyudahi.
Festi berdoa, semoga tidak ada kejadian buruk menimpa mereka. Sudah ada contoh yang ada di depan mata. Entah pihak mana yang salah, yang jelas semua ini menegangkan, ada ciutan di dalam hati yang membuat kita lebih kritis memahami kehidupan.
“Pelan-pelan aja, Beib,” bisik Festi lirih.
“Beib...”’
“Ya?”
“Aku mau bilang, aku sayang kamu, sebelum semua terlambat, hahaha...” kelakar Bob.
Festi mencubit pinggang kanannya, “Apaan sih kamu! Jayus tau!”
Dan merekapun tertawa gila bersama.
Dan... Tiba-tiba saja terjadi!
Mungkin aneh kalau kita baru melihat kecelakaan, lantas kita mengalami kecelakaan hanya selang beberapa menit setelahnya. Kita pasti berpikiran, nggak mungkin dong, baru terjadi aja, masa iya terjadi lagi, tetapi semua itu mungkin. Nggak ada yang nggak mungkin. Bahkan kecelakaan beruntun yang merenggut ratusan nyawa juga bisa terjadi, padahal hanya masalah kelalaian mengikat gelondongan kayu, ingat film Final Destination II?
Motor mereka kehilangan keseimbangan dan dengan cepat Bob menahan dengan kaki kirinya. Instingnya membuat Bob berhasil menahan motor agar tidak rebah dan menimpa kakinya, tetapi bagaimana dengan Festi?
Bob buru-buru menegakkan kembali motor dan menemukan Festi terjatuh dari motor dan untungnya terduduk, tidak terpental. Sangat ngeri untuk membayangkan kekasih yang ia cintai harus mengalami hal yang buruk di hari pertama mereka bertemu kembali, dan semua ini adalah salah Bob yang melantur dan tidak fokus saat akan berbelok.
“Untung bahan celana kainnya lumayan tebel, gores sih, tapi nggak gitu parah,” komen Festi menenangkan Bob.
Bob membantunya berdiri, agak tertatih. Bob membopong Festi ke arah warung di persimpangan tersebut, ada kursi kayu panjang di sana.
“Keseleo nih,” kata Bob, “terus gimana sekarang, Beib, masih mau balik kerja?”
Festi melihat pancaran rasa sangat bersalah di mata Bob, dan sungguh tidak tega rasanya untuk menguliahi Bob, tetapi rasa sesak untuk menyampaikan kebenaran itu tidak dapat dibendungnya.
“Ya, lain kali lebih hati-hati, Beib. Aku nggak bilang ini sudah nasib buruk, jangan menyalahkan nasib, kamu memang salah karena kurang fokus, mungkin kepikiran kecelakaan yang tadi ya? Dan memang penyebabnya karena motor yang berlawanan arah tadi, akan tetapi kalau kita fokus, pasti bisa bereaksi lebih sigap.”
Bob hanya bisa menggangguk dan tersenyum kepada ibu pemilik warung yang sedang memberikan teh manis hangat kepada Festi.
Bob juga menjawab berbagai pertanyaan dari berbagai pihak, dan bukannya membela diri, dari beberapa percakapan dengan saksi mata, banyak yang mengarah bahwa Bob sudah bener dan motor yang ngebut saat mau belok itu hampir menabrak Bob. Untuk menghindari tabrakan, Bob yang mau berbelok ke kiri menjadi tidak stabil. Mau dikata apa lagi, semua telah terjadi dan Festi juga menjadi korban. Walaupun kecelakaan ringan, korban tetaplah korban kan?
“Beib, yuk kita pulang. Mungkin ini kesempatan bagi kita untuk lebih banyak bersama, secara besok pagi aku udah balik ke Jakarta, pesawat subuh,” ajak Bob setelah Festi selesai menyeruput teh manis hangatnya.
“Bentar Beib, aku nelpon Boss dulu,” ujar Festi seraya mengeluarkan handphone.
Untungnya atasan Festi, Ibu Sherly orangnya nggak terlalu skeptis. Malah dia menggoda Festi yang akhirnya izin setengah hari padahal keukeh mengurungkan niat cuti setengah hari.
“Kan udah Ibu bilangin, cuti setengah hari aja, masalah pengangkutan limbah kan bisa diback-up dulu sama Ricky atau Ronny, lah kamu tetap saja keukeh, kesian juga sih pacar kamu tuh, bisa kamu omelin melulu, padahal niatnya mau melepas kangen, hahaha... Ya udah deh, istirahat dan pergi ke tukang urut,” celoteh Bu Sherly disertai background sahutan cieh-cieh yang pastinya adalah dua rekan kerja Festi yang usil.
“Berapa buk?” tanya Bob kepada Bu Aisyah, pemilik warung.
“Nggak usah, Nak, hati-hati, benar kata Adek ini, jangan menyalahkan nasib saja. Ibu juga nggak pernah menyalahkan nasib. Suami Ibu waktu itu meninggal juga di kecelakaan motor, untung Ibu bisa selamat, kalau nggak anak-anak ibu sudah menjadi yatim piatu. Itulah yang paling Ibu syukuri. Sejak itu Ibu selalu tanamkan ke anak-anak untuk selalu waspada, jangan pandang enteng yang keselamatan menyangkut nyawa kita,” nasehat Bu Aisyah.
Festi terharu dan mengamini kebenaran perkataan Ibu Aisyah. Kita bukan hanya diri kita, tetapi adalah seseorang yang spesial bagi orang-orang yang kita cintai.
“Terima kasih banyak, Bu, kami pamit dulu,” senyum Festi sambil melirik Bob penuh kemenangan.
***
“Kenapa nih, Nak?” sahut Bunda Festi dengan cemas melihat Festi yang tertatih-tatih. Jelas saja cemas, Festi adalah anak satu-satunya, sumber semangatnya.
“Ya, Bun, saya kurang hati-hati,” aku Bob.
“Ckckck... Nggak pakai helm lagi. Aduh... Untung kepala kamu aman, untunggg aja...  Bunda nggak tau gimana jadinya kalau kehilangan kamu, Nak... Tadi apa kalian ngebut? Gimana kejadiannya? Terus pulang gini udah minta izin ke Boss?”
“Udah, Bun, tadi aku udah telpon ke kantor,” Festi memberikan senyum termanisnya untuk menenangkan Ibunda tercinta, “Bun nanti aku ceritain ya. Bunda kan lagi ngajar anak-anak les,” sahut Festi menenangkan.
“Ya udah, Bunda masuk dulu, yang penting sudah lega kamu nggak kenapa-napa, kok pulang-pulang pincang, bukannya habis kecelakaan kasih kabar,” omel Bunda sambil geleng-geleng kepala.
“Bunda pamit yah Bob, lanjutin deh ngobrolnya,” mendadak Bunda menjadi pengertian dan mengedipkan matanya sambil tersenyum usil kepada Bob.
“Dasar Bunda!”
Bob tergelak lantaran Festi yang merasa sebal atas sikap pengertian Bundanya pada Bob.
Mereka duduk di teras luar dan Festi memulainya lagi, tapi sungguh, dia ingin Bob tau kebenarannya, bukan hanya sekedar teori yang dikuasainya, semua pengetahuan mengenai keselamatan ini adalah hal yang ingin Festi beritahu kepada siapapun, karena keselamatan itu penting.
“Beib, habis ini jangan pernah berkendara dalam keadaan galau ya, jangan cuma karena diburu-buru waktu, atau banyak pikiran, pastikan bawa motor atau mobil itu dalam keadaan tenang, hati-hati, fokus, taat peraturan lalu lintas, kalau udah saatnya maintenance bawa ke bengkel resmi. Maintenance itu penting, Beib, jangan pelit untuk keselamatan, pokoknya ingat utamakan keselamatan diri sendiri dan orang lain juga. Oh ya, kalau pakai helm jangan cuma diceplokin di kepala, tetapi juga dipasang kait pengamannya, kalau nggak akan mengurangi fungsinya.”
“Iyahhh Beib... Kenapa sih daritadi ribut amat soal keselamatan?”
Kedua tangan Festi meraih tangan Bob, dan matanya menatap Bob dalam.
“Karena, Bob,” Festi menarik nafasnya. Panjang.
“Karena... aku tak sanggup kehilanganmu.” 

*end*

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti KompetisiMenulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan’#SafetyFirst yang diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Honda Motor dan Nulisbuku.com