Rabu, 29 Februari 2012

Kenyataan yang Tak Manis

Ah, kisah ini tak mungkin nyata. Ini seperti cerita cinta yang cantik yang ada di manga. Sisca menarik nafas panjang, ia tak mampu berkonsentrasi dengan film From Paris With Love yang sedang diputar.

Pertemuan di dunia maya, yang kemudian berlanjut dengan hubungan di dunia nyata. Masa iya bisa? Tapi nyatanya cowok cute ini ada di sebelahnya, menonton film setengah action dan setengah romantis bersama, setelah menikmati makan siang bersama.

Rasa penasaran membuatnya datang juga. Seumuran dia memang sudah nggak pantas untuk main game online, apalagi seumuran cowok itu. Hahaha... mungkin itulah sebabnya mereka menjadi teman sepermainan yang klop. Lama-lama permainan dunia maya dan chat-chat mesra membuat mereka terhanyut dalam cinta yang maya. Entah angin apa, si cowok mengajak untuk bertemu. Dan OMG, he's so cute!!!

-o-

Mendadak Sisca merasa pusing. Mungkin ia memang kurang tidur karena terlalu banyak bermain game online. Ahhhh, enaknya menutup mata dalam terpaan angin AC yang sejuk. Sisca terlelap.

"Cantik... filmnya udah selesai," suara lembut Hans membangunkan Sisca.

Sisca mengusap-usap matanya, lalu merapikan rambut, barang-barang, dan pakaiannya.

"Yuk keluar," lanjut Hans sambil menggandeng Sisca mesra.

Meskipun jam 4 sore, perut sudah lapar lagi. Mereka makan dan merasa senang. Lalu berjalan-jalan dari toko ke toko dan membeli barang-barang yang menarik. Tak ada tujuan lagi, tapi hari belum beringsut malam.

"Mau mampir ke apartemen gua?" tanya Hans.

-o-

Cinta itu buta. Indahnya cinta yang bersemi dari dunia maya, mewujud ke dunia nyata. Senangnya hari itu memang tak terkira. Menanti malam berduapun demikian indah. Rasanya Sisca telah mengenal Hans sejak lama, padahal mereka berdua baru pertama kali bertemu pada hari itu. Romantisme berlanjut hingga malam, orang-orang menyebutnya cinta satu malam.

Siapa yang berharap mengalami cinta satu malam seperti ini. Sisca bukanlah love seekers, tetapi pesona Hans begitu membuatnya melambung. Meskipun tanpa komitmen, Sisca terlarut dalam romantisme yang Hans ciptakan. Setelah itu Hans menghilang, tak ada yang mengenal pengontrak apartemen itu. Kata orang-orang ia telah pindah seminggu yang lalu. Sisca terlambat untuk menuntut suatu pertanggungjawaban.

Nomor handphone diganti, character di dunia maya pun nggak pernah online. Entah ke mana harus mencari Hans. Sisca pasrah, tepatnya kapok dan nggak tau lagi harus berbuat apa.

"Menggugurkan kandungan yang masih 1 bulan itu nggak dosa kok. Soalnya belum ada organ yang terbentuk," jelas Vannesa, sahabatnya.

"Temenin gua yah, Van," kata Sisca serius.

Seulas senyum dapat mengembang, mengiringi kelegaan hatinya.

Hanya Dia Bayiku

Dia berubah, tak sama lagi seperti yang dulu. Mungkin yang aku pikirkan sama dengan yang kebanyakan orang pikirkan: untuk apa menikah kalau nggak pingin punya anak.

Kira-kira setahun yang lalu kami menikah. Hubungan rumah tangga kami harmonis dan antara dua keluarga besar saling mengunjungi dan aman-aman saja. Kalau ada acara kumpul-kumpul keluarga, banyak yang memuji kami berdua sebagai pasangan yang ideal, tentu saja ujung-ujungnya bertanya soal punya anak.

"Kami masih ingin menikmati masa-masa berdua," biasanya Mas Ardi menjawab dengan sopan.

-o-

Puas memang. Setiap hari bangun pagi dan menikmati teh bersama. Berangkat kerja bersama, kebetulan kami satu gedung meskipun berbeda kantor. Setiap Jumat lunch bersama, kadang di Pasifik Place, kadang di tempat lain. Kayak orang pacaran, kata orang-orang iri.

Sebagai seorang wanita, rasanya ingin merasakan pengalaman itu meskipun sekali seumur hidup: bagaimana rasanya mengandung, melahirkan, merawat bayi, dan membesarkannya. Apakah aku terlalu egois bila memaksa untuk hamil? Toh, sudah pernah dites bahwa tidak ada masalah pada kami berdua, sama-sama subur, tetapi kami selalu menggunakan kontrasepsi untuk mencegah kehamilan.

"Kami masih ingin menikmati masa-masa berdua," aku membeo demikian bila ditanyai orang-orang soal kehamilan.

-o-

Malam itu, sehabis memasak bersama dan menikmati masakan kami bersama, kami melakukan aktifitas yang sedikit konyol. Hanya duduk di sofa dan berpandang-pandangan, dengan mata dan senyum yang menyiratkan kebahagiaan penuh. Mungkinkah ini saat yang tepat untuk bicara dari hati ke hati?

"Mas, semua yang kita alami setelah menikah sangat indah," kataku buka suara.

"Jangan katakan kamu butuh kehadiran seorang anak agar lebih bahagia," potongnya cepat seolah membaca pikiranku.

Aku terdiam. Aku ingin bertanya mengapa, tetapi aku tidak ingin suasana menjadi seperti keruh.

"Aku hanya ingin kita semua bahagia, kita berdua dan anak kita nantinya. Cicilan apartemen, cicilan mobil, tabungan untuk buka usaha, belum lagi persiapan untuk pendidikan anak kita, semua itu adalah uang. Jangan gegabah Syahrini sayang," jelas Mas Ardi seperti sedang presentasi bisnis.

"Uang! Uang! Aku muak Mas! Apa aku ini beban? Apa punya anak itu beban? Sejujurnya, kalaupun aku berhenti ngantor kita nggak kekurangan juga!"

-o-

Baby Jevon sudah lahir, dan aku tersenyum tak habis-habisnya meskipun lelah. Baby Jevon banyak miripnya dengan Mas Ardi.

Oh ya, Mas Ardi. Aku ingin menangis kalau memikirkan Mas Ardi. Sudah jam 1 pagi, Mas Ardi belum pulang. Biasanya Ia pulang jam 3 atau 4, dengan keadaan teler. Mengapa Mas Ardi tidak dapat menerima kehadiran Jevon?

Awalnya gejala itu tak tampak. Ia tampak bahagia atas kehadiran Jevon dan sempat merasa bahwa pendapatnya untuk tidak punya anak adalah salah. Entah apa yang terjadi, aku tak tahu mengapa Mas Ardi berubah. Rasanya tak ada masalah uang, semua kebutuhan tercukupi. Yah, setidaknya sebelum Mas Ardi tenggelam dalam gaya hidup hedonis.

"Egonya, Rin," kata Jessi.

Ya, mungkin saja Mas Ardi hanya ingin dia yang menjadi bayiku.

Senin, 27 Februari 2012

Sebuah Cerepetan Dongkol

"Udah isi?"
"Ya udahlah!"
"Berapa bulan?"
"Eh, maksud gua isi perut loh, gua udah makan siang. Hahaha..."
Dan si penanya berlalu dengan muka kecut.

-o-

Katanya sih, mereka nggak habis pikir sama gua. Untuk apa menikah kalau nggak mau punya anak? Lah, bukannya nggak mau, mikir juga dong, anak tuh nggak asal dibikin tapi juga membutuhkan perawatan, pendidikan, kasih sayang, dan kesiapan mental orang tua. Ya, intinya kita harus banyak berkorban waktu, tenaga, uang, dan emosi nantinya. Betul kan?

Pertanyaan tajam berikutnya: ya kalau gitu ngapain cepat-cepat nikah? Then, gua balik nanya sama mereka: memangnya menikah itu untuk pelegalan punya anak ya? Ih, seolah-olah ya perbedaan menikah dan pacaran itu selain status di KTP adalah keberadaan anak.

-o-

"Resign? Kenapa buwww?"

Gua nggak bisa menahan geli menerima simpati dibuat-buat yang disertai mata bulat ingin tau gosip terbaru.

"Pengen aja, memang nggak boleh?"

Gelagapan, yakkk... nyedot minuman dulu sanaaaa...

"Lo hamil ya?"

-o-

Dan begitulah, daripada tiap hari menahan kesal berhadapan dengan orang-orang rese, mendingan juga menikmati masa-masa hamil di rumah. Sambil merajut, memasak, membaca, atau bersih-bersih rumah. 

Setahun bekerja keras, kami menikah dengan tabungan bersama. Kecil-kecilan tapi kami bangga.

Setahun setelah menikah, kami memutuskan punya anak dengan tabungan bersama. Semuanya sudah siap: cicilan mobil sudah lunas, DP apartemen sudah tuntas, dan semua biaya perawatan semasa hamil dan melahirkan sudah ada. That's path of our life! Terarah dan terencana, biarkan saja dunia berkata-kata sesukanya.

Welcome baby, ga sabar nunggu kamu lahir!

I Love You Both

Campur aduk. Ada rasa bahagia dalam rasa gelisah. Akan menjadi seorang ibu, beberapa bulan lagi... dan akan berakhir semua keindahan dunia ini, beberapa bulan lagi.

"Ini adalah keajaiban. Hanya 1% kemungkinannya terjadi di dunia, tetapi Anda berhak untuk memilih," kata si dokter penuh simpati.

Aku tak mengerti mengenai penjelasan medis yang sudah ia jabarkan. Mungkin karena pikiranku sedang berkelana, hatiku sedang mendua, dan perasaan yang campur aduk itu.

Intinya, seharusnya aku nggak bisa hamil, tetapi kehamilan itu terjadi dengan ajaib. Apabila dilanjutkan, besar kemungkinan aku akan meninggalkan dunia ini. Apabila tidak, rahim akan diangkat, tak bisa hamil selama-lamanya dan hidup seperti biasa, kecuali nggak bisa hamil.

-o-

Aku telah memutuskan untuk membuang Dia dari hidupku, selama-lamanya. Manusia memang harus memaafkan untuk dapat hidup dalam damai, tetapi aku merasa maaf itu terlalu sulit.

Aku melarikan diri dari semua yang kukenal, memulai lembaran hidup baru di kota ini, tetapi saat aku mulai melangkah ke gerbang istana baruku, aku dicegat dengan sebuah tes kesehatan yang berujung pada pemeriksaan lanjut atas inisiatif sendiri, di ruang dokter yang bijaksana ini.

Untuk apa lagi mempertahankan sesuatu yang berhubungan dengan Dia dan mempertaruhkan nyawaku, itu kata logika.

Untuk apa hidup sebagai wanita tanpa pernah melahirkan, itu bisikan kecil suara hati.

-o-

"Mungkin Anda dapat mendiskusikan lebih lanjut dengan pasangan Anda," lanjut dokter bijaksana tersebut. Bahkan ia menggunakan frasa "pasangan" dan bukan "suami".

Kutahan air mata yang akan mengalir, dan tentu saja aku berhasil.

"Ada solusi lain, Dok?"

Dalam hati aku merasa bodoh berkata kasar seperti itu.

"Maukah kamu membicarakannya sebagai teman? Bagaimana kalau kita keluar makan siang?" katanya ceria.

-o-

5 bulan yang kami lalui terasa sangat manis. Kami menikah dan melewatkan masa-masa indah bersama.

Dokter sekaligus suamiku itu, membantuku dalam persalinan ini. Ia tampak tabah dan berharap terjadi keajaiban berikutnya, bahwa aku akan selamat di tangannya.

Penuh kasih ia berikan bayi itu untuk kupeluk dan kucium. Kami bertiga melewatkan saat-saat bahagia selama beberapa menit. Momen ini lebih indah dari pesta 17 tahun yang meriah, atau saat lolos casting oleh sutradara terkenal.

Mataku memberat, nafasku tersengal.

"I love you both," kubisikkan kalimat penuh arti itu pada mereka, tanpa sempat mengucapkan kata selamat tinggal.

Jumat, 24 Februari 2012

Bukan Pembunuh

"Dijual?!?"

Meiske tertawa sambil mengurai rambutnya dengan gaya yang menggoda. Seksi, nggak kelihatan seperti pernah melahirkan. Tubuhnya ramping, posturnya tinggi menjulang, dengan rambut keemasan.

Mendadak aku melihat perubahan di wajah Meiske. Tatapan ceria tanpa beban itu berganti dengan tatapan sendu dan kesedihan yang mendalam.

"Sebenarnya gua nggak tega, Ta. Tapi mau bagaimana lagi. Gua harus bayar ongkos bersalin, dan gua masih pengen dapat suami."

-o-

Serba salah. Aku tau, sangat tau bahkan, seperti apa Meiske itu. Nasib memang nggak bisa ditolak, meskipun terjadinya segala sesuatu dalam hidup ini karena pilihan-pilihan kita.

Saat Victor meninggalkannya dengan alasan mereka berbeda agama dan tidak direstui keluarga, Meiske banyak menghabiskan waktu dan uangnya untuk dugem. Membunuh kepahitan yang ada di hatinya.

Aku masih ingat saat melarikan Meiske ke rumah sakit akibat overdosis. Bank tempat kami bekerja lantas mengambil tindakan tegas dengan memecat Meiske. Dan saat tes urine dilaksanakan karena overdosis itu, diketahui bahwa Meiske hamil. Untung saja ibu dan bayi itu kuat fisiknya, mereka dapat bertahan hidup.

-o-

Meiske menghilang. Dan sekarang ia datang, ingin bekerja lagi dan mencari suami. Agar tanpa beban, bayinya dijual.

"Paling nggak gua nggak membunuh. Setelah tau hamil gua jaga dengan baik, gua cariin ortu yang baik. Kalau tentang uangnya, gua butuh."

Tergelitik hati ini untuk bertanya tentang jumlah uangnya, tapi aku rasa itu akan menyakiti perasaan Meiske. Sesungguhnya Ia juga tak ingin demikian, tetapi keadaan.

"Ada orang yang meskipun susah nggak akan melakukan seperti gua, tapi gua punya pilihan juga kan," cerocosnya tanpa air mata.

"Selamat memulai hidup baru, teman," kupeluk Meiske dan kuusap air mataku.

Anugrah Terindah

Livia. Pasti itu Livia. Rasanya makhluk itu terlalu mirip dengan Livia.

Rambutnya panjang terurai, kulitnya putih bersih, badannya tidak kurus tetapi tidak gemuk, tingginya juga sepertinya pas.

Makhluk itu mendekat dan mendekat, seperti tau bahwa aku sedang menatapnya sambil menerka-nerka apakah Ia adalah seorang teman yang aku kenal.

-o-

Mungkin aneh kalau kebetulan yang sama terjadi untuk kedua kalinya. Tempat yang sama, kondisi yang sama, hanya waktu yang berbeda.

5 tahun lalu, aku di sini, dengan kejadian yang sama. Perjalanan Padang-Jogja membutuhkan transit di Jakarta. Di ruang tunggu ini, menunggu pesawat yang akan memberangkatkanku ke Yogyakarta.

Tapi kebetulan ini nyata. Livia sudah ada di depanku. Kami saling memandang dan tersenyum, bagaikan sahabat lama yang tau kisah masing-masing. Ya, kami memang tau kisah masing-masing meskipun kami bukan sahabat. Kami hanya satu atap, satu kost di kala itu.

-o-

"Lima tahun lalu aku katakan kepadamu bahwa cinta itu mudah asal ada uang. Bisa liburan ke Bali, Singapura, bahkan Hongkong. Mobil yang bagus, pakaian yang indah, urusan ini itu nggak ada masalah."

Aku masih ingat apa yang Livia katakan di masa yang lalu. Aku saat itu tak percaya, namun kini saat aku percaya kebenaran kata-katanya, Ia justru berkata yang sebaliknya.

Aku memandangnya dengan penuh simpati. Masih cantik seperti yang dulu.

"Ada ada Liv?" tanyaku penuh perhatian sekaligus penasaran.

-o-

Manusia tidak pernah puas. Kali ini Livia merasa hidupnya kurang bahagia karena ketiadaan buah hati. Berobat ke sana ke mari, dan kali ini dari Medan mau berobat lagi ke Yogyakarta.

"Punya anak itu nggak seindah yang kamu bayangkan kok Liv," hiburku.

Adjie suamiku tiba saat aku menyelesaikan kalimat itu. Senyumnya cemerlang, begitu juga Nabila, putri kami. Aku sedikit tak enak hati dengan Livia.

"Liburan keluarga," jelasku kepada Livia.

Kubiarkan Ia menatap Nabila seperti berlian terindah yang pernah dilihatnya. Adjie-pun mengerti dan membiarkan Nabila bercakap-cakap dengan Livia.

"Nabila adalah anugrah buat kita," bisik Adjie sambil menggenggam tanganku erat.

Rabu, 22 Februari 2012

Kamu Malaikatku, Jalan Tuhan Bagiku

Listia di depan pintu, riasannya berantakan, sebuah koper yang diseretnya tampak sama menderita dengan dirinya.

Tanpa berkata apa-apa, Listia menghambur untuk memelukku. Isaknya membahana, dan untungnya tak ada siapa-siapa di rumah selain aku.

"Mertuaku..." sepatah kata meluncur terbata-bata.

Kuusap-usap bahunya. Aku mengerti. Mertua Listia mengetahui bahwa yang ada di kandungannya bukan anak Bobby. Bobby menolong Listia yang ditinggalkan Arman, sahabat Bobby. Tetapi orang tua Bobby baru tau kebenarannya sekarang. Mereka pasti mengusir Listia.

-o-

Aku mengenal Listia dari sebuah blog, yang ia tulis sendiri. Kisahnya menyentuh, terasa nyatanya. Kisah itu tentang kebaikan Bobby pada dirinya. Betapa Listia bersyukur pada Tuhan karena pernah dikenalkan Arman kepada Bobby.

Kebetulan kami satu kota, jadi aku mengajaknya bertemu beberapa kali. Pagi ini adalah kali ketiga kami bertemu, dalam keadaan yang sangat tidak mengenakkan.

Aku juga tak tau harus berbuat apa untuk Listia. Masa iya memintanya jadi pembantu di rumah ini... Mau memberinya uang untuk kembali ke Semarang, uang dari mana?

-o-

Bila Tuhan membantumu menyelesaikan masalah, maka kamu percaya pada kekuatan-Nya, sebaliknya bila Tuhan tidak membantumu, Ia percaya pada kekuatanmu.

Aku percaya, tapi ini bukan masalahku. Well, ini akan menjadi masalahku juga, Listia adalah temanku. Sejauh mana aku harus membantunya? Dengan apa?

Kubawakan segelas air dan kutambahkan lagi air sampai ia berkata cukup. Kuulurkan tissue untuk membersihkan air matanya, menyilahkan mencuci muka, sambil aku siapkan roti semir mentega. Listia pasti belum makan.

Segigit roti ia makan, aku tak berkata apa-apa. Aku memandangnya dengan simpati, dan tersenyum.

-o-

Bel berbunyi. Mama dan temannya, Tante Vera.

Gelagapan, aku tak tau harus berkata apa. Mama pasti bertanya tentang Listia, kandungannya, dan segala macamnya. Biasa, mulut perempuan.

Dalam dilema, aku biarkan Mama dan Tante Vera masuk.

"Menantu Rima kan?" tanya Tante Vera berharap dijawab iya secepatnya.

Aku menggigit bibir, takut salah bicara.

Tante Vera orang yang bijak, aku rasa ia punya sesuatu yang penting untuk dikatakan kepada Listia. Aku mengajak Mama ke kamarku.

-o-

"Andrea," panggil Tante Vera sambil mengetuk kamarku.

Binar bahagia dan senyuman memancar dari raut wajah Tante Vera dan Listia.

"Tante dan Listia membuat kesepakatan," bukanya.

"Andrea, kamu malaikatku, kamu jalan Tuhan bagiku," sambung Listia.

Ada secercah kesedihan dibalik kesenangannya yang menggebu.

"Aku akan tinggal bersama Tante Vera, sampai bayiku lahir. Aku akan memberikannya kepada Vannesa dan Kevin. Tante Vera mengatakan Vannesa anaknya sudah 5 tahun menikah dan belum memperoleh anak. Aku ikhlas, dan aku bersyukur dapat ditolong. Tante Vera juga akan memberikan aku bekal untuk kembali ke Semarang setelah melahirkan nanti."

Aku, Mama, Tante Vera, dan Listia berpelukan setelah penjelasan Listia. Speechless, tak tau aku harus berkata apa. Ya, mungkin aku adalah jalan bagi Listia.