Rabu, 21 Maret 2012

Sebutir Berlian

Jenny tersenyum tipis saat pop-up email yang ia nantikan masuk ke inbox-nya. Gadis yang selalu ia andalkan itu memang benar sangat terandalkan. Trixie dan hasil kerjanya, Trixie dan pemikiran briliannya, Trixie dan semangatnya tak kenal lelah. Perfect.

Meskipun Trixie sangat terandalkan, Jenny tetap memeriksa ulang hasil kerjanya - itulah tugas Jenny dan tidak boleh ia lalaikan. Puas dan bertambah semangat Jenny karenanya, paling nggak tidak menguras emosi di pagi hari, lalu setelahnya Jenny akan menghadapi kekurangan pekerjaan rekan-rekan Trixie.

-o-

10 menit untuk menuntaskan pemeriksaan ulang, bertepatan dengan Trixie yang muncul di depan pintu ruangan Jenny. Tak seperti biasa, tanpa banyak dokumen penting di tangannya, kali ini hanya selembar amplop putih ringan yang mencurigakan.

"Surat resign, Jen," jelas Trixie sembari mengulurkan amplop yang tak ingin Jenny buka.

"Please have a sit my Xie, masih pagi kok, kita bisa ngobrol-ngobrol," kata Jenny sambil menenangkan dirinya sendiri.

"It's simple. This."

Jari manis di tangan kanan Trixie berhiaskan cincin bertahta berlian murni.

Oh-ow, siapa yang tak mengerti arti cincin itu.

Datar keluar dari mulut Jenny, "Congrats, Xie."

-o-

Trixie terbahak dan tanpa alasan yang jelas Jenny ikut tertawa keras bersama. Mereka seolah lupa dengan jam kantor yang sudah dimulai dan orang-orang melihat dengan kebingungan ke duo yang dikenal maut dalam menyelesaikan pekerjaan itu.

"It's silly!" umpat Jenny.

Yap, Trixie dan angan-angan tentang sebutir berlian. Selama ini sebutir berlian yang indah itu menjadi motivasi kerjnnya. Ia ingin berkelana dan mewujudkan cita-cita menjadi seorang relawan di pedalaman, yang membantu orang-orang di daerah terpencil untuk menaikkan standar hidup. Sebuah niat yang mulia, setelah ia berhasil menggenggam sebutir berlian.

"Gua hanya pakai di masa-masa setelah gua resign sampai gua bekerja kembali di NGO* itu," jelasnya.

Dengan serius Trixie melanjutkan, "Dalam berlian ini ada kerja keras gua, gua ingin puas. Kalau orang-orang bekerja demi sesuap nasi, gua demi sebutir berlian, proven and proud of it."

Bagaikan melepas seseorang ke surga dari dunia fana ini, Jenny tak rela tetapi mengikhlaskan Trixie dengan senyuman tulus.

Harus Berpisah

"Gua dan Ian nggak mungkin bersama lagi," ucap Martha sendu, nadanya pilu dan menusuk hatiku.

Martha sahabatku, senyumnya tampak dipaksakan. Aku ingin menyodorkan bahu agar ia dapat menangis hingga puas, tetapi aku takut hal itu akan menyinggung egonya.

Setahuku, Martha adalah wanita yang kuat dan tegar, meskipun berbadan mungil dan selalu tersenyum seperti malaikat. Satu kelebihan Martha yang tidak kumiliki (kadangkala aku berpikir itu adalah kelemahan terbesar dalam diri Martha): ia tak sanggup membuat orang lain kecewa. Segala daya upaya ia lakukan untuk mewujudkan keinginan orang lain, yang berlebihan sekalipun.

Gaji yang pas-pasan nggak membuat Martha menolak ajakan Ian untuk membuka tabungan bersama, ancang-ancang untuk biaya pernikahan mereka nantinya. Martha rela menahan selera makan, bahkan terkadang memasak makanan instan untuk dimakan. Ketulusannya untuk niat yang mulia sungguh tidak dapat dipungkiri.

Ian juga sangat menyayangi Martha. Ian selalu ingin Martha terlihat cantik, dan tidak menuntut Martha mengeluarkan berbagai biaya untuk itu, Ian membiayainya. Saat Ian terlepas dari rutinitas lembur, ia menjemput Martha dan mereka makan malam bareng di sekitaran kantor kami. Sungguh pasangan yang serasi dan bikin iri.

Saat tanggal pernikahan itu makin dekat, tetapi Martha mundur dari gerbang kebahagiaannya.

"Nggak sanggup gua harus ninggalin Mama, Papa, dan adek-adek gua. Agak kasar kalau gua bilang mereka adalah beban, tapi memang iya begitu. Ian ingin gua melepaskan mereka sebagai beban hidup gua, gua masuk ke keluarga Ian dan hanya boleh peduli sekedarnya pada mereka," jelas Martha.

Ian yang pengertian tetapi juga kokoh pada pendirian. Ia mengembalikan tabungan yang merupakan hak Martha. Mereka berpisah baik-baik, saling mendoakan, dan berharap yang terbaik untuk masing-masing.

Tepi Laut

Dari dulu aku menyukai laut, meskipun hawa panas menusuk yang kurasakan bila berada di tepi laut.

Orang-orang di sini lebih suka menyebut tepi laut, dan aku setuju sebutan itu lebih pas daripada tepi pantai. Tepi laut adalah pantai. Pantai adalah hamparan laut, horizon, dan langit biru di kejauhan; perahu-perahu, pulau-pulau, dan orang-orang di bagian tengah; ombak berdebur, butiran-butiran pasir, dan jejak kaki di tempatku berada; serta bebatuan dan pohon kelapa di belakangku.


Aroma hangat yang sedikit amis meniupkan cinta dari hatiku ke hatinya. Kupandangi lagi sosok yang menatap ke arah matahari terbit itu, yang tampak terpukau dengan keindahan pantai di kota kecil ini. Perlahan ia meraih tanganku, kami resmi berpegangan sambil menatap matahari.

Semburat senyum tak henti memancar dari kedua insan yang sedang dimabuk cinta. Hangatnya matahari sama dengan hangatnya cinta yang ada di dalam hati. Oh, aku cinta kota ini, aku cinta pantai ini, tepi laut ini.

Aku telah terbang jauh, meninggalkan kota ini dalam niat tak kembali. Bagaikan burung yang bosan dengan sangkarnya, berkelana dan menghirup aroma tepi laut di kota-kota lain membuat aku merasa bebas dan senang. Namun sekarang aku di sini, dalam kebahagiaan yang berbeda, yang jauh melebihi kebahagiaan akan kebebasan. Aku tetap bebas dan menemukan keindahan dari sangkar lamaku.

Di tepi laut ini, ada kebahagiaan yang besar.

Senin, 05 Maret 2012

Bulan dan Coklat

Bulan penuh, purnama.

Ibuku selalu duduk di jendela yang sama, dengan tatapan rindu yang sama kepada bulan purnama.

Sepenggal kalimat mengandung namaku sering Ia ucapkan, "Seandainya kamu bukan anak laki-laki, Steven."

5 tahun lebih aku mendengar kalimat itu, tanpa tau apa maksudnya, karena Ibu tak menjawab bila aku bertanya. Seluruh pikirannya terbang ke bulan tampaknya.

-o-

Aku membawakan Ibu segelas coklat hangat. Kusodorkan ke mejanya, berusaha tidak mengenai lengannya yang bertumpu pada meja. Aku usahakan dekat dengan hidungnya sehingga aroma coklat dapat ia rasakan.

Coklat adalah minuman kesukaan Ibu. Biasanya, kalau bukan pada malam bulan purnama, kami berdua akan menikmati masing-masing segelas coklat dengan biskuit-biskuit yang kami buat pada sore harinya.

Oh ya, ada satu gelas lagi yang tidak diminum oleh siapa-siapa. Begitu juga biskuit yang sama, terhidang manis di sebelahnya. Aku tak tahu apa yang Ibu lakukan dengan minuman coklat dan biskuit itu, mungkin ia sendiri yang memakannya, karena aku tidak menemukan sisa-sisanya.

-o-

Bulan depan adalah ulangtahunku yang keenam, kata Ibu. Hari yang spesial, dan hari yang paling bahagia, begitulah tambahan kata-kata yang sering Ibu ucapkan.

Aku lihat Ibu menyeruput coklat yang aku buatkan. Wanginya membangkitkan selera dan membuat Ibu berada di sini untuk meminumnya. Pikiran Ibu pasti telah kembali dari bulan.

"Ibu ingin memelukmu, kemarilah Stev," katanya.

Tak henti-henti dihujaninya aku dengan kecupan dan belaian, "Meskipun 6 tahun bersama, kamu adalah kebahagiaan terbesar bagi Ibu. Setelah itu, Ibu akan menatapmu dan ayahmu setiap purnama. Kita berpisah tapi kasih sayang Ibu padamu tidak."

Perempuan tercantik itu menangis dan meminum coklat hangat buatanku sambil tersenyum.

Salah Siapa?

"Apa salahnya Farrel, Rel?" protes Farid keras kepada Aurel, istrinya.

Aurel memilih menunduk dan menatap kosong pada tumpahan susu formula dan gelas susu plastik Farrel yang tergeletak di kakinya. Farrel memang tidak salah, tapi dia juga tidak salah. Ini bukan salah siapa-siapa.

Farrel berusaha melepaskan diri dari gendongan Farid. Sangat jelas kelihatan bahwa bocah 3 tahun itu mengharapkan belaian dari Aurel.

"Sini sayang," Aurel berkata lirih sambil menggendong Farrel.

Tawa Farrel menghiburnya, membuat air mata yang akan mengalir menyusut lagi. Ya, ini bukan salah Farrel, bukan salahku, tapi salah Farid.

-o-

"Biarkan dia lahir, dia tak bersalah, kamu yang telah berbuat dosa," Farid menunjukkan sikap yang tegas saat itu.

Rasanya benar apa yang dikatakan Farid, begitu pula solusi yang telah diberikannya. Sebulan demikian kami menikah dan menantikan kelahiran Farrel bersama.

Farrel, Farid dan Aurel. Nama yang sangat cocok untuk bayi laki-lakiku, yang menjadi bayi Farid juga. Aku mencintai Farrel, hanya saja makin hari mimik mukanya makin mirip dengan seseorang yang seharusnya harus kulupakan seumur hidup.

-o-

Dulu cinta itu memang ada, nyata, dan bergelora. Hingga semuanya yang indah berakhir dengan pengkhianatan. Tanpa peduli tentang masa depan Farrel, aku lari dan takkan kembali.

Bagiku, kehadiran Farrel adalah sebuah anugrah yang memberikan kebahagiaan tersendiri, tetapi aku selalu terkenang bila Farrel menatapku terlalu penuh cinta. Dan tangis yang merebak seketika membuat Farrel merasa bersalah dan tak sengaja menjatuhkan susu yang sedang diminumnya.

Farid tentu saja mengetahui apa yang terjadi, tetapi Farid tetap yakin bahwa semuanya akan terhapus seiring waktu. Bahkan cintanya kepadaku dan Farrel kian hari kian bertambah. Itulah salah Farid. Ia membuat keindahan yang membuatku begitu takut untuk kehilangan.