Rabu, 21 Maret 2012

Harus Berpisah

"Gua dan Ian nggak mungkin bersama lagi," ucap Martha sendu, nadanya pilu dan menusuk hatiku.

Martha sahabatku, senyumnya tampak dipaksakan. Aku ingin menyodorkan bahu agar ia dapat menangis hingga puas, tetapi aku takut hal itu akan menyinggung egonya.

Setahuku, Martha adalah wanita yang kuat dan tegar, meskipun berbadan mungil dan selalu tersenyum seperti malaikat. Satu kelebihan Martha yang tidak kumiliki (kadangkala aku berpikir itu adalah kelemahan terbesar dalam diri Martha): ia tak sanggup membuat orang lain kecewa. Segala daya upaya ia lakukan untuk mewujudkan keinginan orang lain, yang berlebihan sekalipun.

Gaji yang pas-pasan nggak membuat Martha menolak ajakan Ian untuk membuka tabungan bersama, ancang-ancang untuk biaya pernikahan mereka nantinya. Martha rela menahan selera makan, bahkan terkadang memasak makanan instan untuk dimakan. Ketulusannya untuk niat yang mulia sungguh tidak dapat dipungkiri.

Ian juga sangat menyayangi Martha. Ian selalu ingin Martha terlihat cantik, dan tidak menuntut Martha mengeluarkan berbagai biaya untuk itu, Ian membiayainya. Saat Ian terlepas dari rutinitas lembur, ia menjemput Martha dan mereka makan malam bareng di sekitaran kantor kami. Sungguh pasangan yang serasi dan bikin iri.

Saat tanggal pernikahan itu makin dekat, tetapi Martha mundur dari gerbang kebahagiaannya.

"Nggak sanggup gua harus ninggalin Mama, Papa, dan adek-adek gua. Agak kasar kalau gua bilang mereka adalah beban, tapi memang iya begitu. Ian ingin gua melepaskan mereka sebagai beban hidup gua, gua masuk ke keluarga Ian dan hanya boleh peduli sekedarnya pada mereka," jelas Martha.

Ian yang pengertian tetapi juga kokoh pada pendirian. Ia mengembalikan tabungan yang merupakan hak Martha. Mereka berpisah baik-baik, saling mendoakan, dan berharap yang terbaik untuk masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar