Senin, 05 Maret 2012

Bulan dan Coklat

Bulan penuh, purnama.

Ibuku selalu duduk di jendela yang sama, dengan tatapan rindu yang sama kepada bulan purnama.

Sepenggal kalimat mengandung namaku sering Ia ucapkan, "Seandainya kamu bukan anak laki-laki, Steven."

5 tahun lebih aku mendengar kalimat itu, tanpa tau apa maksudnya, karena Ibu tak menjawab bila aku bertanya. Seluruh pikirannya terbang ke bulan tampaknya.

-o-

Aku membawakan Ibu segelas coklat hangat. Kusodorkan ke mejanya, berusaha tidak mengenai lengannya yang bertumpu pada meja. Aku usahakan dekat dengan hidungnya sehingga aroma coklat dapat ia rasakan.

Coklat adalah minuman kesukaan Ibu. Biasanya, kalau bukan pada malam bulan purnama, kami berdua akan menikmati masing-masing segelas coklat dengan biskuit-biskuit yang kami buat pada sore harinya.

Oh ya, ada satu gelas lagi yang tidak diminum oleh siapa-siapa. Begitu juga biskuit yang sama, terhidang manis di sebelahnya. Aku tak tahu apa yang Ibu lakukan dengan minuman coklat dan biskuit itu, mungkin ia sendiri yang memakannya, karena aku tidak menemukan sisa-sisanya.

-o-

Bulan depan adalah ulangtahunku yang keenam, kata Ibu. Hari yang spesial, dan hari yang paling bahagia, begitulah tambahan kata-kata yang sering Ibu ucapkan.

Aku lihat Ibu menyeruput coklat yang aku buatkan. Wanginya membangkitkan selera dan membuat Ibu berada di sini untuk meminumnya. Pikiran Ibu pasti telah kembali dari bulan.

"Ibu ingin memelukmu, kemarilah Stev," katanya.

Tak henti-henti dihujaninya aku dengan kecupan dan belaian, "Meskipun 6 tahun bersama, kamu adalah kebahagiaan terbesar bagi Ibu. Setelah itu, Ibu akan menatapmu dan ayahmu setiap purnama. Kita berpisah tapi kasih sayang Ibu padamu tidak."

Perempuan tercantik itu menangis dan meminum coklat hangat buatanku sambil tersenyum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar