Kamis, 07 Juni 2012

Be Nice First

"Nggak mungkin aja kalo Rosa berbuat begitu, Rhay," desah Ike setengah membujuk kepadaku.

Memang nggak salah kalau Ike dan semua orang lainnya yang pernah mengenal Rosa beranggapan kalau Rosa adalah duplikat malaikat yang sangat sulit ditemukan kekurangannya.

Lemah lembut dan penuh kasih, perhatian dan pintar membaca situasi. Ketulusan dan kebijaksanaan senantiasa terpancar dari tatapan matanya, selaras dengan kata-kata dari bibirnya.

"Someone had taught me to be nice first, because you can always be mean later. Once you've been mean to someone, they won't believe the nice anymore. So be nice... be nice... until it's time to stop being nice, then destroy them."

Untaian kalimat panjang itu aku perlihatkan pada Ike. BBM dari Rosa yang ditujukan padaku itu sungguh menyesakkan dada. Itulah jawaban dari Rosa saat aku menanyakan kenapa sih kok tega banget selingkuh dengan Rio, padahal jelas-jelas Rosa adalah sahabatku. Ups, maksudku kuanggap seseorang yang layak dijadikan sahabat.

"Sori Rhay, BBM ini memang dari BB Rosa, tapi gua tetap nggak percaya kalau Rosa itu jahat," bantah Ike yang tak sependapat denganku. Yah, siapa juga sih yang bisa percaya.

Aku melengos dan pasrah. Apalagi sih yang bisa dilakukan selain ikhlas.

Belum sempat aku tertunduk untuk merenungkan kelanjutan cintaku yang kandas, si malaikat berhati setan datang. Iya, Rosa datang bersama pacar resminya sekarang, Rio.

"Sori Ike dan Rhaysa, gua telat," katanya disertai senyum manis mengembang.

"Seeing is believing, Rhay, tapi gua rasa seharusnya dari tadi gua percaya sama lo," dengus Ike sambil menggaetku pergi. Sejauh-jauhnya.


Rabu, 21 Maret 2012

Sebutir Berlian

Jenny tersenyum tipis saat pop-up email yang ia nantikan masuk ke inbox-nya. Gadis yang selalu ia andalkan itu memang benar sangat terandalkan. Trixie dan hasil kerjanya, Trixie dan pemikiran briliannya, Trixie dan semangatnya tak kenal lelah. Perfect.

Meskipun Trixie sangat terandalkan, Jenny tetap memeriksa ulang hasil kerjanya - itulah tugas Jenny dan tidak boleh ia lalaikan. Puas dan bertambah semangat Jenny karenanya, paling nggak tidak menguras emosi di pagi hari, lalu setelahnya Jenny akan menghadapi kekurangan pekerjaan rekan-rekan Trixie.

-o-

10 menit untuk menuntaskan pemeriksaan ulang, bertepatan dengan Trixie yang muncul di depan pintu ruangan Jenny. Tak seperti biasa, tanpa banyak dokumen penting di tangannya, kali ini hanya selembar amplop putih ringan yang mencurigakan.

"Surat resign, Jen," jelas Trixie sembari mengulurkan amplop yang tak ingin Jenny buka.

"Please have a sit my Xie, masih pagi kok, kita bisa ngobrol-ngobrol," kata Jenny sambil menenangkan dirinya sendiri.

"It's simple. This."

Jari manis di tangan kanan Trixie berhiaskan cincin bertahta berlian murni.

Oh-ow, siapa yang tak mengerti arti cincin itu.

Datar keluar dari mulut Jenny, "Congrats, Xie."

-o-

Trixie terbahak dan tanpa alasan yang jelas Jenny ikut tertawa keras bersama. Mereka seolah lupa dengan jam kantor yang sudah dimulai dan orang-orang melihat dengan kebingungan ke duo yang dikenal maut dalam menyelesaikan pekerjaan itu.

"It's silly!" umpat Jenny.

Yap, Trixie dan angan-angan tentang sebutir berlian. Selama ini sebutir berlian yang indah itu menjadi motivasi kerjnnya. Ia ingin berkelana dan mewujudkan cita-cita menjadi seorang relawan di pedalaman, yang membantu orang-orang di daerah terpencil untuk menaikkan standar hidup. Sebuah niat yang mulia, setelah ia berhasil menggenggam sebutir berlian.

"Gua hanya pakai di masa-masa setelah gua resign sampai gua bekerja kembali di NGO* itu," jelasnya.

Dengan serius Trixie melanjutkan, "Dalam berlian ini ada kerja keras gua, gua ingin puas. Kalau orang-orang bekerja demi sesuap nasi, gua demi sebutir berlian, proven and proud of it."

Bagaikan melepas seseorang ke surga dari dunia fana ini, Jenny tak rela tetapi mengikhlaskan Trixie dengan senyuman tulus.

Harus Berpisah

"Gua dan Ian nggak mungkin bersama lagi," ucap Martha sendu, nadanya pilu dan menusuk hatiku.

Martha sahabatku, senyumnya tampak dipaksakan. Aku ingin menyodorkan bahu agar ia dapat menangis hingga puas, tetapi aku takut hal itu akan menyinggung egonya.

Setahuku, Martha adalah wanita yang kuat dan tegar, meskipun berbadan mungil dan selalu tersenyum seperti malaikat. Satu kelebihan Martha yang tidak kumiliki (kadangkala aku berpikir itu adalah kelemahan terbesar dalam diri Martha): ia tak sanggup membuat orang lain kecewa. Segala daya upaya ia lakukan untuk mewujudkan keinginan orang lain, yang berlebihan sekalipun.

Gaji yang pas-pasan nggak membuat Martha menolak ajakan Ian untuk membuka tabungan bersama, ancang-ancang untuk biaya pernikahan mereka nantinya. Martha rela menahan selera makan, bahkan terkadang memasak makanan instan untuk dimakan. Ketulusannya untuk niat yang mulia sungguh tidak dapat dipungkiri.

Ian juga sangat menyayangi Martha. Ian selalu ingin Martha terlihat cantik, dan tidak menuntut Martha mengeluarkan berbagai biaya untuk itu, Ian membiayainya. Saat Ian terlepas dari rutinitas lembur, ia menjemput Martha dan mereka makan malam bareng di sekitaran kantor kami. Sungguh pasangan yang serasi dan bikin iri.

Saat tanggal pernikahan itu makin dekat, tetapi Martha mundur dari gerbang kebahagiaannya.

"Nggak sanggup gua harus ninggalin Mama, Papa, dan adek-adek gua. Agak kasar kalau gua bilang mereka adalah beban, tapi memang iya begitu. Ian ingin gua melepaskan mereka sebagai beban hidup gua, gua masuk ke keluarga Ian dan hanya boleh peduli sekedarnya pada mereka," jelas Martha.

Ian yang pengertian tetapi juga kokoh pada pendirian. Ia mengembalikan tabungan yang merupakan hak Martha. Mereka berpisah baik-baik, saling mendoakan, dan berharap yang terbaik untuk masing-masing.

Tepi Laut

Dari dulu aku menyukai laut, meskipun hawa panas menusuk yang kurasakan bila berada di tepi laut.

Orang-orang di sini lebih suka menyebut tepi laut, dan aku setuju sebutan itu lebih pas daripada tepi pantai. Tepi laut adalah pantai. Pantai adalah hamparan laut, horizon, dan langit biru di kejauhan; perahu-perahu, pulau-pulau, dan orang-orang di bagian tengah; ombak berdebur, butiran-butiran pasir, dan jejak kaki di tempatku berada; serta bebatuan dan pohon kelapa di belakangku.


Aroma hangat yang sedikit amis meniupkan cinta dari hatiku ke hatinya. Kupandangi lagi sosok yang menatap ke arah matahari terbit itu, yang tampak terpukau dengan keindahan pantai di kota kecil ini. Perlahan ia meraih tanganku, kami resmi berpegangan sambil menatap matahari.

Semburat senyum tak henti memancar dari kedua insan yang sedang dimabuk cinta. Hangatnya matahari sama dengan hangatnya cinta yang ada di dalam hati. Oh, aku cinta kota ini, aku cinta pantai ini, tepi laut ini.

Aku telah terbang jauh, meninggalkan kota ini dalam niat tak kembali. Bagaikan burung yang bosan dengan sangkarnya, berkelana dan menghirup aroma tepi laut di kota-kota lain membuat aku merasa bebas dan senang. Namun sekarang aku di sini, dalam kebahagiaan yang berbeda, yang jauh melebihi kebahagiaan akan kebebasan. Aku tetap bebas dan menemukan keindahan dari sangkar lamaku.

Di tepi laut ini, ada kebahagiaan yang besar.

Senin, 05 Maret 2012

Bulan dan Coklat

Bulan penuh, purnama.

Ibuku selalu duduk di jendela yang sama, dengan tatapan rindu yang sama kepada bulan purnama.

Sepenggal kalimat mengandung namaku sering Ia ucapkan, "Seandainya kamu bukan anak laki-laki, Steven."

5 tahun lebih aku mendengar kalimat itu, tanpa tau apa maksudnya, karena Ibu tak menjawab bila aku bertanya. Seluruh pikirannya terbang ke bulan tampaknya.

-o-

Aku membawakan Ibu segelas coklat hangat. Kusodorkan ke mejanya, berusaha tidak mengenai lengannya yang bertumpu pada meja. Aku usahakan dekat dengan hidungnya sehingga aroma coklat dapat ia rasakan.

Coklat adalah minuman kesukaan Ibu. Biasanya, kalau bukan pada malam bulan purnama, kami berdua akan menikmati masing-masing segelas coklat dengan biskuit-biskuit yang kami buat pada sore harinya.

Oh ya, ada satu gelas lagi yang tidak diminum oleh siapa-siapa. Begitu juga biskuit yang sama, terhidang manis di sebelahnya. Aku tak tahu apa yang Ibu lakukan dengan minuman coklat dan biskuit itu, mungkin ia sendiri yang memakannya, karena aku tidak menemukan sisa-sisanya.

-o-

Bulan depan adalah ulangtahunku yang keenam, kata Ibu. Hari yang spesial, dan hari yang paling bahagia, begitulah tambahan kata-kata yang sering Ibu ucapkan.

Aku lihat Ibu menyeruput coklat yang aku buatkan. Wanginya membangkitkan selera dan membuat Ibu berada di sini untuk meminumnya. Pikiran Ibu pasti telah kembali dari bulan.

"Ibu ingin memelukmu, kemarilah Stev," katanya.

Tak henti-henti dihujaninya aku dengan kecupan dan belaian, "Meskipun 6 tahun bersama, kamu adalah kebahagiaan terbesar bagi Ibu. Setelah itu, Ibu akan menatapmu dan ayahmu setiap purnama. Kita berpisah tapi kasih sayang Ibu padamu tidak."

Perempuan tercantik itu menangis dan meminum coklat hangat buatanku sambil tersenyum.

Salah Siapa?

"Apa salahnya Farrel, Rel?" protes Farid keras kepada Aurel, istrinya.

Aurel memilih menunduk dan menatap kosong pada tumpahan susu formula dan gelas susu plastik Farrel yang tergeletak di kakinya. Farrel memang tidak salah, tapi dia juga tidak salah. Ini bukan salah siapa-siapa.

Farrel berusaha melepaskan diri dari gendongan Farid. Sangat jelas kelihatan bahwa bocah 3 tahun itu mengharapkan belaian dari Aurel.

"Sini sayang," Aurel berkata lirih sambil menggendong Farrel.

Tawa Farrel menghiburnya, membuat air mata yang akan mengalir menyusut lagi. Ya, ini bukan salah Farrel, bukan salahku, tapi salah Farid.

-o-

"Biarkan dia lahir, dia tak bersalah, kamu yang telah berbuat dosa," Farid menunjukkan sikap yang tegas saat itu.

Rasanya benar apa yang dikatakan Farid, begitu pula solusi yang telah diberikannya. Sebulan demikian kami menikah dan menantikan kelahiran Farrel bersama.

Farrel, Farid dan Aurel. Nama yang sangat cocok untuk bayi laki-lakiku, yang menjadi bayi Farid juga. Aku mencintai Farrel, hanya saja makin hari mimik mukanya makin mirip dengan seseorang yang seharusnya harus kulupakan seumur hidup.

-o-

Dulu cinta itu memang ada, nyata, dan bergelora. Hingga semuanya yang indah berakhir dengan pengkhianatan. Tanpa peduli tentang masa depan Farrel, aku lari dan takkan kembali.

Bagiku, kehadiran Farrel adalah sebuah anugrah yang memberikan kebahagiaan tersendiri, tetapi aku selalu terkenang bila Farrel menatapku terlalu penuh cinta. Dan tangis yang merebak seketika membuat Farrel merasa bersalah dan tak sengaja menjatuhkan susu yang sedang diminumnya.

Farid tentu saja mengetahui apa yang terjadi, tetapi Farid tetap yakin bahwa semuanya akan terhapus seiring waktu. Bahkan cintanya kepadaku dan Farrel kian hari kian bertambah. Itulah salah Farid. Ia membuat keindahan yang membuatku begitu takut untuk kehilangan.

Rabu, 29 Februari 2012

Kenyataan yang Tak Manis

Ah, kisah ini tak mungkin nyata. Ini seperti cerita cinta yang cantik yang ada di manga. Sisca menarik nafas panjang, ia tak mampu berkonsentrasi dengan film From Paris With Love yang sedang diputar.

Pertemuan di dunia maya, yang kemudian berlanjut dengan hubungan di dunia nyata. Masa iya bisa? Tapi nyatanya cowok cute ini ada di sebelahnya, menonton film setengah action dan setengah romantis bersama, setelah menikmati makan siang bersama.

Rasa penasaran membuatnya datang juga. Seumuran dia memang sudah nggak pantas untuk main game online, apalagi seumuran cowok itu. Hahaha... mungkin itulah sebabnya mereka menjadi teman sepermainan yang klop. Lama-lama permainan dunia maya dan chat-chat mesra membuat mereka terhanyut dalam cinta yang maya. Entah angin apa, si cowok mengajak untuk bertemu. Dan OMG, he's so cute!!!

-o-

Mendadak Sisca merasa pusing. Mungkin ia memang kurang tidur karena terlalu banyak bermain game online. Ahhhh, enaknya menutup mata dalam terpaan angin AC yang sejuk. Sisca terlelap.

"Cantik... filmnya udah selesai," suara lembut Hans membangunkan Sisca.

Sisca mengusap-usap matanya, lalu merapikan rambut, barang-barang, dan pakaiannya.

"Yuk keluar," lanjut Hans sambil menggandeng Sisca mesra.

Meskipun jam 4 sore, perut sudah lapar lagi. Mereka makan dan merasa senang. Lalu berjalan-jalan dari toko ke toko dan membeli barang-barang yang menarik. Tak ada tujuan lagi, tapi hari belum beringsut malam.

"Mau mampir ke apartemen gua?" tanya Hans.

-o-

Cinta itu buta. Indahnya cinta yang bersemi dari dunia maya, mewujud ke dunia nyata. Senangnya hari itu memang tak terkira. Menanti malam berduapun demikian indah. Rasanya Sisca telah mengenal Hans sejak lama, padahal mereka berdua baru pertama kali bertemu pada hari itu. Romantisme berlanjut hingga malam, orang-orang menyebutnya cinta satu malam.

Siapa yang berharap mengalami cinta satu malam seperti ini. Sisca bukanlah love seekers, tetapi pesona Hans begitu membuatnya melambung. Meskipun tanpa komitmen, Sisca terlarut dalam romantisme yang Hans ciptakan. Setelah itu Hans menghilang, tak ada yang mengenal pengontrak apartemen itu. Kata orang-orang ia telah pindah seminggu yang lalu. Sisca terlambat untuk menuntut suatu pertanggungjawaban.

Nomor handphone diganti, character di dunia maya pun nggak pernah online. Entah ke mana harus mencari Hans. Sisca pasrah, tepatnya kapok dan nggak tau lagi harus berbuat apa.

"Menggugurkan kandungan yang masih 1 bulan itu nggak dosa kok. Soalnya belum ada organ yang terbentuk," jelas Vannesa, sahabatnya.

"Temenin gua yah, Van," kata Sisca serius.

Seulas senyum dapat mengembang, mengiringi kelegaan hatinya.

Hanya Dia Bayiku

Dia berubah, tak sama lagi seperti yang dulu. Mungkin yang aku pikirkan sama dengan yang kebanyakan orang pikirkan: untuk apa menikah kalau nggak pingin punya anak.

Kira-kira setahun yang lalu kami menikah. Hubungan rumah tangga kami harmonis dan antara dua keluarga besar saling mengunjungi dan aman-aman saja. Kalau ada acara kumpul-kumpul keluarga, banyak yang memuji kami berdua sebagai pasangan yang ideal, tentu saja ujung-ujungnya bertanya soal punya anak.

"Kami masih ingin menikmati masa-masa berdua," biasanya Mas Ardi menjawab dengan sopan.

-o-

Puas memang. Setiap hari bangun pagi dan menikmati teh bersama. Berangkat kerja bersama, kebetulan kami satu gedung meskipun berbeda kantor. Setiap Jumat lunch bersama, kadang di Pasifik Place, kadang di tempat lain. Kayak orang pacaran, kata orang-orang iri.

Sebagai seorang wanita, rasanya ingin merasakan pengalaman itu meskipun sekali seumur hidup: bagaimana rasanya mengandung, melahirkan, merawat bayi, dan membesarkannya. Apakah aku terlalu egois bila memaksa untuk hamil? Toh, sudah pernah dites bahwa tidak ada masalah pada kami berdua, sama-sama subur, tetapi kami selalu menggunakan kontrasepsi untuk mencegah kehamilan.

"Kami masih ingin menikmati masa-masa berdua," aku membeo demikian bila ditanyai orang-orang soal kehamilan.

-o-

Malam itu, sehabis memasak bersama dan menikmati masakan kami bersama, kami melakukan aktifitas yang sedikit konyol. Hanya duduk di sofa dan berpandang-pandangan, dengan mata dan senyum yang menyiratkan kebahagiaan penuh. Mungkinkah ini saat yang tepat untuk bicara dari hati ke hati?

"Mas, semua yang kita alami setelah menikah sangat indah," kataku buka suara.

"Jangan katakan kamu butuh kehadiran seorang anak agar lebih bahagia," potongnya cepat seolah membaca pikiranku.

Aku terdiam. Aku ingin bertanya mengapa, tetapi aku tidak ingin suasana menjadi seperti keruh.

"Aku hanya ingin kita semua bahagia, kita berdua dan anak kita nantinya. Cicilan apartemen, cicilan mobil, tabungan untuk buka usaha, belum lagi persiapan untuk pendidikan anak kita, semua itu adalah uang. Jangan gegabah Syahrini sayang," jelas Mas Ardi seperti sedang presentasi bisnis.

"Uang! Uang! Aku muak Mas! Apa aku ini beban? Apa punya anak itu beban? Sejujurnya, kalaupun aku berhenti ngantor kita nggak kekurangan juga!"

-o-

Baby Jevon sudah lahir, dan aku tersenyum tak habis-habisnya meskipun lelah. Baby Jevon banyak miripnya dengan Mas Ardi.

Oh ya, Mas Ardi. Aku ingin menangis kalau memikirkan Mas Ardi. Sudah jam 1 pagi, Mas Ardi belum pulang. Biasanya Ia pulang jam 3 atau 4, dengan keadaan teler. Mengapa Mas Ardi tidak dapat menerima kehadiran Jevon?

Awalnya gejala itu tak tampak. Ia tampak bahagia atas kehadiran Jevon dan sempat merasa bahwa pendapatnya untuk tidak punya anak adalah salah. Entah apa yang terjadi, aku tak tahu mengapa Mas Ardi berubah. Rasanya tak ada masalah uang, semua kebutuhan tercukupi. Yah, setidaknya sebelum Mas Ardi tenggelam dalam gaya hidup hedonis.

"Egonya, Rin," kata Jessi.

Ya, mungkin saja Mas Ardi hanya ingin dia yang menjadi bayiku.

Senin, 27 Februari 2012

Sebuah Cerepetan Dongkol

"Udah isi?"
"Ya udahlah!"
"Berapa bulan?"
"Eh, maksud gua isi perut loh, gua udah makan siang. Hahaha..."
Dan si penanya berlalu dengan muka kecut.

-o-

Katanya sih, mereka nggak habis pikir sama gua. Untuk apa menikah kalau nggak mau punya anak? Lah, bukannya nggak mau, mikir juga dong, anak tuh nggak asal dibikin tapi juga membutuhkan perawatan, pendidikan, kasih sayang, dan kesiapan mental orang tua. Ya, intinya kita harus banyak berkorban waktu, tenaga, uang, dan emosi nantinya. Betul kan?

Pertanyaan tajam berikutnya: ya kalau gitu ngapain cepat-cepat nikah? Then, gua balik nanya sama mereka: memangnya menikah itu untuk pelegalan punya anak ya? Ih, seolah-olah ya perbedaan menikah dan pacaran itu selain status di KTP adalah keberadaan anak.

-o-

"Resign? Kenapa buwww?"

Gua nggak bisa menahan geli menerima simpati dibuat-buat yang disertai mata bulat ingin tau gosip terbaru.

"Pengen aja, memang nggak boleh?"

Gelagapan, yakkk... nyedot minuman dulu sanaaaa...

"Lo hamil ya?"

-o-

Dan begitulah, daripada tiap hari menahan kesal berhadapan dengan orang-orang rese, mendingan juga menikmati masa-masa hamil di rumah. Sambil merajut, memasak, membaca, atau bersih-bersih rumah. 

Setahun bekerja keras, kami menikah dengan tabungan bersama. Kecil-kecilan tapi kami bangga.

Setahun setelah menikah, kami memutuskan punya anak dengan tabungan bersama. Semuanya sudah siap: cicilan mobil sudah lunas, DP apartemen sudah tuntas, dan semua biaya perawatan semasa hamil dan melahirkan sudah ada. That's path of our life! Terarah dan terencana, biarkan saja dunia berkata-kata sesukanya.

Welcome baby, ga sabar nunggu kamu lahir!

I Love You Both

Campur aduk. Ada rasa bahagia dalam rasa gelisah. Akan menjadi seorang ibu, beberapa bulan lagi... dan akan berakhir semua keindahan dunia ini, beberapa bulan lagi.

"Ini adalah keajaiban. Hanya 1% kemungkinannya terjadi di dunia, tetapi Anda berhak untuk memilih," kata si dokter penuh simpati.

Aku tak mengerti mengenai penjelasan medis yang sudah ia jabarkan. Mungkin karena pikiranku sedang berkelana, hatiku sedang mendua, dan perasaan yang campur aduk itu.

Intinya, seharusnya aku nggak bisa hamil, tetapi kehamilan itu terjadi dengan ajaib. Apabila dilanjutkan, besar kemungkinan aku akan meninggalkan dunia ini. Apabila tidak, rahim akan diangkat, tak bisa hamil selama-lamanya dan hidup seperti biasa, kecuali nggak bisa hamil.

-o-

Aku telah memutuskan untuk membuang Dia dari hidupku, selama-lamanya. Manusia memang harus memaafkan untuk dapat hidup dalam damai, tetapi aku merasa maaf itu terlalu sulit.

Aku melarikan diri dari semua yang kukenal, memulai lembaran hidup baru di kota ini, tetapi saat aku mulai melangkah ke gerbang istana baruku, aku dicegat dengan sebuah tes kesehatan yang berujung pada pemeriksaan lanjut atas inisiatif sendiri, di ruang dokter yang bijaksana ini.

Untuk apa lagi mempertahankan sesuatu yang berhubungan dengan Dia dan mempertaruhkan nyawaku, itu kata logika.

Untuk apa hidup sebagai wanita tanpa pernah melahirkan, itu bisikan kecil suara hati.

-o-

"Mungkin Anda dapat mendiskusikan lebih lanjut dengan pasangan Anda," lanjut dokter bijaksana tersebut. Bahkan ia menggunakan frasa "pasangan" dan bukan "suami".

Kutahan air mata yang akan mengalir, dan tentu saja aku berhasil.

"Ada solusi lain, Dok?"

Dalam hati aku merasa bodoh berkata kasar seperti itu.

"Maukah kamu membicarakannya sebagai teman? Bagaimana kalau kita keluar makan siang?" katanya ceria.

-o-

5 bulan yang kami lalui terasa sangat manis. Kami menikah dan melewatkan masa-masa indah bersama.

Dokter sekaligus suamiku itu, membantuku dalam persalinan ini. Ia tampak tabah dan berharap terjadi keajaiban berikutnya, bahwa aku akan selamat di tangannya.

Penuh kasih ia berikan bayi itu untuk kupeluk dan kucium. Kami bertiga melewatkan saat-saat bahagia selama beberapa menit. Momen ini lebih indah dari pesta 17 tahun yang meriah, atau saat lolos casting oleh sutradara terkenal.

Mataku memberat, nafasku tersengal.

"I love you both," kubisikkan kalimat penuh arti itu pada mereka, tanpa sempat mengucapkan kata selamat tinggal.

Jumat, 24 Februari 2012

Bukan Pembunuh

"Dijual?!?"

Meiske tertawa sambil mengurai rambutnya dengan gaya yang menggoda. Seksi, nggak kelihatan seperti pernah melahirkan. Tubuhnya ramping, posturnya tinggi menjulang, dengan rambut keemasan.

Mendadak aku melihat perubahan di wajah Meiske. Tatapan ceria tanpa beban itu berganti dengan tatapan sendu dan kesedihan yang mendalam.

"Sebenarnya gua nggak tega, Ta. Tapi mau bagaimana lagi. Gua harus bayar ongkos bersalin, dan gua masih pengen dapat suami."

-o-

Serba salah. Aku tau, sangat tau bahkan, seperti apa Meiske itu. Nasib memang nggak bisa ditolak, meskipun terjadinya segala sesuatu dalam hidup ini karena pilihan-pilihan kita.

Saat Victor meninggalkannya dengan alasan mereka berbeda agama dan tidak direstui keluarga, Meiske banyak menghabiskan waktu dan uangnya untuk dugem. Membunuh kepahitan yang ada di hatinya.

Aku masih ingat saat melarikan Meiske ke rumah sakit akibat overdosis. Bank tempat kami bekerja lantas mengambil tindakan tegas dengan memecat Meiske. Dan saat tes urine dilaksanakan karena overdosis itu, diketahui bahwa Meiske hamil. Untung saja ibu dan bayi itu kuat fisiknya, mereka dapat bertahan hidup.

-o-

Meiske menghilang. Dan sekarang ia datang, ingin bekerja lagi dan mencari suami. Agar tanpa beban, bayinya dijual.

"Paling nggak gua nggak membunuh. Setelah tau hamil gua jaga dengan baik, gua cariin ortu yang baik. Kalau tentang uangnya, gua butuh."

Tergelitik hati ini untuk bertanya tentang jumlah uangnya, tapi aku rasa itu akan menyakiti perasaan Meiske. Sesungguhnya Ia juga tak ingin demikian, tetapi keadaan.

"Ada orang yang meskipun susah nggak akan melakukan seperti gua, tapi gua punya pilihan juga kan," cerocosnya tanpa air mata.

"Selamat memulai hidup baru, teman," kupeluk Meiske dan kuusap air mataku.

Anugrah Terindah

Livia. Pasti itu Livia. Rasanya makhluk itu terlalu mirip dengan Livia.

Rambutnya panjang terurai, kulitnya putih bersih, badannya tidak kurus tetapi tidak gemuk, tingginya juga sepertinya pas.

Makhluk itu mendekat dan mendekat, seperti tau bahwa aku sedang menatapnya sambil menerka-nerka apakah Ia adalah seorang teman yang aku kenal.

-o-

Mungkin aneh kalau kebetulan yang sama terjadi untuk kedua kalinya. Tempat yang sama, kondisi yang sama, hanya waktu yang berbeda.

5 tahun lalu, aku di sini, dengan kejadian yang sama. Perjalanan Padang-Jogja membutuhkan transit di Jakarta. Di ruang tunggu ini, menunggu pesawat yang akan memberangkatkanku ke Yogyakarta.

Tapi kebetulan ini nyata. Livia sudah ada di depanku. Kami saling memandang dan tersenyum, bagaikan sahabat lama yang tau kisah masing-masing. Ya, kami memang tau kisah masing-masing meskipun kami bukan sahabat. Kami hanya satu atap, satu kost di kala itu.

-o-

"Lima tahun lalu aku katakan kepadamu bahwa cinta itu mudah asal ada uang. Bisa liburan ke Bali, Singapura, bahkan Hongkong. Mobil yang bagus, pakaian yang indah, urusan ini itu nggak ada masalah."

Aku masih ingat apa yang Livia katakan di masa yang lalu. Aku saat itu tak percaya, namun kini saat aku percaya kebenaran kata-katanya, Ia justru berkata yang sebaliknya.

Aku memandangnya dengan penuh simpati. Masih cantik seperti yang dulu.

"Ada ada Liv?" tanyaku penuh perhatian sekaligus penasaran.

-o-

Manusia tidak pernah puas. Kali ini Livia merasa hidupnya kurang bahagia karena ketiadaan buah hati. Berobat ke sana ke mari, dan kali ini dari Medan mau berobat lagi ke Yogyakarta.

"Punya anak itu nggak seindah yang kamu bayangkan kok Liv," hiburku.

Adjie suamiku tiba saat aku menyelesaikan kalimat itu. Senyumnya cemerlang, begitu juga Nabila, putri kami. Aku sedikit tak enak hati dengan Livia.

"Liburan keluarga," jelasku kepada Livia.

Kubiarkan Ia menatap Nabila seperti berlian terindah yang pernah dilihatnya. Adjie-pun mengerti dan membiarkan Nabila bercakap-cakap dengan Livia.

"Nabila adalah anugrah buat kita," bisik Adjie sambil menggenggam tanganku erat.

Rabu, 22 Februari 2012

Kamu Malaikatku, Jalan Tuhan Bagiku

Listia di depan pintu, riasannya berantakan, sebuah koper yang diseretnya tampak sama menderita dengan dirinya.

Tanpa berkata apa-apa, Listia menghambur untuk memelukku. Isaknya membahana, dan untungnya tak ada siapa-siapa di rumah selain aku.

"Mertuaku..." sepatah kata meluncur terbata-bata.

Kuusap-usap bahunya. Aku mengerti. Mertua Listia mengetahui bahwa yang ada di kandungannya bukan anak Bobby. Bobby menolong Listia yang ditinggalkan Arman, sahabat Bobby. Tetapi orang tua Bobby baru tau kebenarannya sekarang. Mereka pasti mengusir Listia.

-o-

Aku mengenal Listia dari sebuah blog, yang ia tulis sendiri. Kisahnya menyentuh, terasa nyatanya. Kisah itu tentang kebaikan Bobby pada dirinya. Betapa Listia bersyukur pada Tuhan karena pernah dikenalkan Arman kepada Bobby.

Kebetulan kami satu kota, jadi aku mengajaknya bertemu beberapa kali. Pagi ini adalah kali ketiga kami bertemu, dalam keadaan yang sangat tidak mengenakkan.

Aku juga tak tau harus berbuat apa untuk Listia. Masa iya memintanya jadi pembantu di rumah ini... Mau memberinya uang untuk kembali ke Semarang, uang dari mana?

-o-

Bila Tuhan membantumu menyelesaikan masalah, maka kamu percaya pada kekuatan-Nya, sebaliknya bila Tuhan tidak membantumu, Ia percaya pada kekuatanmu.

Aku percaya, tapi ini bukan masalahku. Well, ini akan menjadi masalahku juga, Listia adalah temanku. Sejauh mana aku harus membantunya? Dengan apa?

Kubawakan segelas air dan kutambahkan lagi air sampai ia berkata cukup. Kuulurkan tissue untuk membersihkan air matanya, menyilahkan mencuci muka, sambil aku siapkan roti semir mentega. Listia pasti belum makan.

Segigit roti ia makan, aku tak berkata apa-apa. Aku memandangnya dengan simpati, dan tersenyum.

-o-

Bel berbunyi. Mama dan temannya, Tante Vera.

Gelagapan, aku tak tau harus berkata apa. Mama pasti bertanya tentang Listia, kandungannya, dan segala macamnya. Biasa, mulut perempuan.

Dalam dilema, aku biarkan Mama dan Tante Vera masuk.

"Menantu Rima kan?" tanya Tante Vera berharap dijawab iya secepatnya.

Aku menggigit bibir, takut salah bicara.

Tante Vera orang yang bijak, aku rasa ia punya sesuatu yang penting untuk dikatakan kepada Listia. Aku mengajak Mama ke kamarku.

-o-

"Andrea," panggil Tante Vera sambil mengetuk kamarku.

Binar bahagia dan senyuman memancar dari raut wajah Tante Vera dan Listia.

"Tante dan Listia membuat kesepakatan," bukanya.

"Andrea, kamu malaikatku, kamu jalan Tuhan bagiku," sambung Listia.

Ada secercah kesedihan dibalik kesenangannya yang menggebu.

"Aku akan tinggal bersama Tante Vera, sampai bayiku lahir. Aku akan memberikannya kepada Vannesa dan Kevin. Tante Vera mengatakan Vannesa anaknya sudah 5 tahun menikah dan belum memperoleh anak. Aku ikhlas, dan aku bersyukur dapat ditolong. Tante Vera juga akan memberikan aku bekal untuk kembali ke Semarang setelah melahirkan nanti."

Aku, Mama, Tante Vera, dan Listia berpelukan setelah penjelasan Listia. Speechless, tak tau aku harus berkata apa. Ya, mungkin aku adalah jalan bagi Listia.

Jumat, 06 Januari 2012

Me vs TBC [Part 7]

Hari Bersejarah 

Melanjutkan rencana senang-senang hari itu, sindikat TBC melanjutkan acara nongkrong dengan acara karaoke. Makan siang bisa ditunda, karena kebetulan nih, perut juga udah penuh dan mulut udah nggak sabar pengen bernyanyi.
Menunggu giliran untuk dapat masuk dalam ruangan karaoke - yang konon bisa membuat orang menunjukkan dirinya sendiri - adalah hal yang sedikit menyebalkan. Tetapi tentu saja kehadiran makhluk-makhluk heboh adalah pembunuh waktu yang ajaib.
Ruangan karaoke, siapa yang punya ide buat hal beginian? Penasaran, aku mencari faktanya lewat bantuan mbah google. Jepang? Oke, mari lanjutkan membaca. Karaoke berasal dari bahasa Jepang, yaitu: kara (yang berarti tangan kosong) dan okesutora (orkestra). Jadi, maksudnya karaoke adalah orkestra kosong, hanya musik dan yang nggak seperti umumnya pertunjukan musik. Orang memang diharuskan memegang mikrofon dan mengikuti kata-kata pada tampilan layar atau buku.
Perlengkapan karaoke (ilustrasi by google)

Uniknya ya, menurutku karaoke nggak hanya sekedar menyanyikan lagu dengan baik, tapi seperti yang aku bilang tadi: ajang menunjukkan diri sendiri. Ruangan kecil yang tertutup dan katanya sih kedap suara (tapi kok ada suara yang keluar juga), bernuansa sedikit remang-remang, dan hanya berisi orang-orang yang kita inginkan untuk berkaraoke bersama kita. Apa lagi yang kurang untuk nggak menjadi diri sendiri? Mungkin sedikit minuman beralkohol? Hahaha...
Lagi-lagi hari ini memang suratan menjadi hariku berkhayal tetapi terhenti saat suasana menjadi hening.
"Luciaaaaaa!" gema suara itu diikuti pelukan erat kepada Lucia yang menatap makhluk di depannya dengan nanar.
"Lupa ya?" lanjut makhluk itu seolah paham dengan penyakit akut Lucia.
Tak aneh lagi kan. Lucia memang mudah lupa. Aku sendiri bertanya-tanya bagaimana mungkin orang seperti Lucia menjadi sekretaris. Bukankah harus banyak yang diingat dan diatur ya? Harusnya tuh bukannya kerjaan sesuai dengan kapabilitas kita, seperti aku yang suka nawar menjadi Procurement Staff.
"Sorry Mbak, nggak kenal, eh nggak ingat," kata Lucia sopan kepada makhluk berjilbab yang sedang melirik ke arah teman-temannya yang mengkodenya untuk duduk bersama mereka.
"Mbak Retna," ujarnya sambil tersenyum manis. Manis banget. Jujur aku suka binar matanya saat tersenyum.
"Di Jogja, kita satu kost. Kamar kita berseberangan. Kamu selalu pulang, mengetuk kamarku, dan duduk berlama-lama menonton tivi sambil makan. Kalau senggang, sore-sore kita lari sore bersama. Udah ingat?"
"Masa iya kamu Mbak Retna?" tanyanya nggak percaya dengan penjelasan si bola mata manis itu.
Retna mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sebuah handphone. Ada makhluk kuning kotak bergelantungan di salah satu sudutnya, dengan wajah penuh dnegan cengiran lebar dan mata ceria, Spongebob.
Lucia lantas memeluknya dan membuat pengakuan romantis, "Mbak Retna, aku kangen sama kamu."
Mungkinkah aku seharusnya minta gantungan handphone Doraemon pada Lucia agar saat bertemu dia ingat denganku? Tapi yang menyenangkan, tanpa itu dia mengingatku. Ah, mengharukan.

"Teman-teman sindikat TBC?" tanya Retna sambil menatap kami satu persatu dengan tidak percaya.
"Tidak butuh cinta?" lanjutnya.
Kami semua speechless, seolah-olah udah nggak pantas lagi di umur seginian bertingkah pola aneh. Aduh jadi malu, ini kan ideku ya?
"Aku gabung ya!" seru Retna dengan riang gembira.
Sekarang gantian mataku yang berbinar, Tuhan itu ajaib!
"Aku kepingin buktiin sama ibu dan bapak, kalau wanita yang sukses itu yang dapat bekerja profesional layaknya lelaki, bukannya wanita yang punya suami sukses. Jadinya, aku nggak ada pikiran untuk menggaet lelaki manapun, aku hanya ingin sampai di puncak karir, tanpa kehadiran cinta yang mengganggu karir."
Satu sudut pandang lagi, dan aku salut pada Retna yang baru aku kenal ini. Dia ingin sukses, bukan punya sumai yang sukses. Memang aneh ya kenapa sih wanita nggak boleh sesukses laki-laki? Kalau wanita itu sukses, kan laki-laki juga yang bangga. Atau jarang sekali ada laki-laki yang sukses ingin bersanding dengan wanita yang sukses?
Retna yang tampak sekilas sopan dan pemalu itu ternyata orangnya sangat terbuka pada orang-orang yang dianggap suka mendengarkan ceritanya. Meskipun pada dasarnya aku juga bawel, ada saatnya aku memang menjadi pendengar yang baik. Aku nggak suka dengan orang yang selalu ingin didengarkan, seperti jug anggak suka orang yang membuat suasana terasa dingin. Yang pas saja, ya begitulah.
Retna menceritakan bahwa dia adalah bungsu dari 8 bersaudara. Ayah dan ibunya adalah buruh tani, begitu juga kakak-kakak lelakinya. 2 orang kakak perempuannya digolongkan sebagai wanita yang cukup sukses di kampungnya karena bisa menggaet pegawai pemerintahan. Jauh di lubuk hatinya, menurutnya kedua kakaknya bisa jauh lebih sukses daripada itu. Mereka cantik dan pintar. Dewi, kakak perempuan tertuanya merelakan beasiswa untuk kuliah di Universitas Padjajaran, karena tidak direstui kedua orang tua dan keburu dijodohkan dengan Rendra yang bekerja sebagai staf walikota Yogyakarta. Demikian juga dengan Asti, kakak perempuannya satu lagi yang sangat ingin menjadi penyuluh KB terpaksa mengikuti jejak Dewi dengan menikah. Banyak orang yang nggak sanggup mengecewakan orangtua dan mengorbankan potensi diri serta cita-cita. Contoh-contoh nyata tersebut menjadi cambuk bagi Retna untuk membutktikan kesuksesan dengan caranya sendiri.
Aku merenungkan kisahnya dan berpaling ke kisahku. Mama dan Papa keduanya bekerja, dan aku lihat mereka nggak ada masalah. Papa seorang dokter umum dan mama seorang dokter gigi. Mungkin karena kesibukan masing-masing dan pengabdiannya pada masyarakat, tak ada yang dipandang sebagai persaingan. Mereka bahu membahu membagi waktu untuk membesarkan ketiga putri mereka: Fiana, Diana, dan aku: Triana. Walaupun Mama dan Papa sibuk, rasanya kita bertiga nggak kekurangan kasih sayang. Biasa saja, hepi-hepi saja. Itu salah satu bukti wanita yang sukses bersanding dengan pria yang sukses dan tetap bahagia.
Aku rasa sindikat ini bukan untuk anti-pria, tetapi hanya semacam sekumpulan wanita yang merasa tidak butuh cinta dari pria untuk merasakan kebahagiaan, dan itu nggak salah dong?

Hari ini adalah hari yang bersejarah dalam hidupku. Banyak hal yang aku dengarkan dan resapi hari ini.
Aku sendiri bertanya-tanya: seberapa yakin sih aku untuk hidup tanpa cinta lelaki?
Kalau saja Rio hadir sekarang di depanku, mungkin keteguhan hatiku ini akan goyah. Aku dan Rio. Aku mencintai Rio, tetapi Rio yang nggak suka dengan hubungan jarak jauh. Aku menjadi sangat membencinya karena itu.
Kemudian aku rasakan hari-hariku tanpa Rio, dan dengan malas melirak lirik atau kenalan dengan orang yang bermaksud menjalin hubungan cinta denganku. Hasilnya: kuliahku bagus, kegiatan organisasi dan kepanitiaan yang menyenangkan mengisi hari-hariku, begitu juga dalam berkarir aku nggak harus minta pendapat cowok.
Mungkin aku sama seperti Ci Pam yang mencintai lalu terluka, sementara Lucia dan Retna seolah nggak butuh cinta karena mereka belum merasakan manisnya dan sakit hati yang ditimbulkannya.
Ci Pam menoelku untuk segera masuk ke ruang karaoke. Sudah giliran kami ternyata. Aku, Ci Pam, dan Lucia pamitan pada Retna, dan kami berempat berjanji untuk bertemu lagi seminggu kemudian.

Words count: 1040

Me vs TBC [Part 6]

Terjaring

Siapa yang bisa sangka sih kalau sindikat yang baru terbentuk 5 menit sudah bisa memperluas jaringan? Hahaha... nih ya tak ada yang tak mungkin, bahkan saat kita inginkan, sangat sangat sangatttttttt ingin sesuatu, ingin ingin inginnnnnn banget sesuatu, kuncinya adalah: inginkanlah dengan sangat dan sungguh-sungguh, seperti kita inginkan udara untuk bernafas, die to get it! Mengapa harus segitunya? Ada seorang yang bernama Paulo Coelho mengatakan, “When you want something, all the universe conspires in helping you to achieve it.”
The Quote by Paulo Coelho (ilustrasi by google)

Saat kita menginginkan sesuatu, seluruh dunia akan bersama-sama membantu kita untuk mewujudkannya. Ya ya ya... lagi-lagi ini adalah pegangan hidupku yang menuntunku untuk semakin berani bermimpi gila.
Langkah pertama - selagi Ci Pam juga lagi asyik sama laptop-nya, dan daripada cengok atau kelihatan berkhayal, aku mengedarkan pandangan ke semua penjuru JCo ini, siapa tau ada yang bisa dijaring untuk masuk dalam sindikat TBC. 
Ngomong-ngomong, TBC sebenarnya juga bisa jadi sindikat yang keren kalau dianggap sebagai sindikat yang menggunakan Bahasa Inggris. Maksudku, Tak Butuh Cinta disingkat TBC (dibaca te-be-ce, seperti nama penyakit), sedangkan kalau sedikit dipoles menjadi keren, let say dijadikan The Beauty and Charming (ahay!), atau The Bloody Caramel (xixixi... seperti grup band punk!) dan diucapkan ti-bi-si instead of te-be-ce yang nggak keren itu. 
Nggak ada manusia yang kukenal deh kayaknya di dalam sini. Masa iya harus celingak celinguk keluar atau keliling mencari mangsa eh anggota? Mana mau Ci Pam dengan high hells-nya yang merepotkan itu! Sesuai agenda, hanya nongkrong di JCo, karaoke di Inul Vista, dan nonton di 21. Intinya hari ini adalah senang-senang dan bukan belanja, sehingga kostum yang Ci Pam pakai memang nggak mendukung untuk belanja. 
Dan tiba-tiba ada warna kuning mencolok, yang mendekat mendekat dan mendekat ke arahku. Atribut yang aneh, tapi nggak asing di mataku. Aih aih, Lucia!


"Hai Pam!" sapanya, dan kesalnya sapaan itu bukan untukku. 
"Hai Lucy, gimana kerja di Arsitex? Betah? Kalau nggak ngantor tambah norak aja lo. Hahaha..." candanya pedas seolah-olah yang dikenakan Ci Pam itu calm banget dan beda banget sama yang dikenakan Lucy. Beda sih beda, tapiiii intinya sama-sama nyakitin mata!
Ci Pam bercerita bahwa Lucia adalah sekretaris Arsitex, sebuah penyedia jasa arsitektur yang beken di Indonesia. Perusahaan kami adalah salah satu klien tetap Arsitex dan menurut Ci Pam berurusan dengan Lucia sangat menyenangkan dan nggak ribet. Intinya dia memuji Lucia habis-habisan sebagai seorang yang profesional dalam bekerja. Lantas memperkenalkanku, siapa tau nantinya aku akan berurusan dengan Lucia juga. 
"Bentar," kata Lucia menatapku lama tanpa mengulurkan tangannya. Untung saja aku nggak keburu mengulurkan tanganku. Gimana kalau Lucia sudah lupa padaku? 5 tahun bukan waktu yang singkat bukan? Sudah 5 tahun aku dan Lucia nggak pernah ketemu lagi. Sejak aku memutuskan untuk kuliah di Jakarta dan Lucia di Jogja. Lose contact, karena jurusan kita juga nggak nyambung buat saling ngobrol dan sibuk dengan aktifitas masing-masing.
Tapi, 3 tahun bukan waktu yang singkat juga bukan? Masa iya Lucia melupakan sahabatnya semasa SMA ini? Ehm, mestinya sih nggak tapi (tapi lagi!) kalau melihat tabiat Lucia sih wajar-wajar aja kalau dia lupa. Sering banget dia lupa kalau namaku itu Triana, dan hanya ingat TRI. Sementara Fiana sering disebut dengan kakakku yang tua, dan Diana kakakku yang muda. Lucia sangat mudah melupakan nama, dan parahnya nggak merasa terganggu dengan hal itu. 
"Woi! Bentar kok lama!" sontak aku dan Lucia terkaget mendengar teriakan Ci Pam. 
"Nggak Ci... ini... gua kayaknya kenal sama anak ini," katanya sambil menunjuk ke arahku.
Mukaku merah, menunduk, dan malu? Tentu saja!
Berpikir keras, Lucia menuturkan juga apa yang ada dalam pikirannya, "Mungkin cuma mirip sama sahabat gua waktu SMA, namanya... engggg... namanyaaaa... "
"Nama gua Tri. Lengkapnya Triana," cerocosku nggak sabaran. 
"Eh iya, Tri yang bikin kamarnya jadi hutan."
Doeng. 


Okeh, perkenalan kembali yang memalukan, tepatnya buatku. Selamat terbahak-bahak buat dua manusia paling aneh yang aku kenal di muka bumi ini. Dan aku telah menghabiskan choco blended untuk diseruput saat tawa ngakak dua manusia gokil ini membahana. 
Tak habis-habisnya Lucia menceritakan kekonyolanku semasa SMA, ditimpali dengan Ci Pam yang menceritakan kekonyolanku di kantor. Hampir setahun bekerja sebagai Staff Procurement, sementara Ci Pam dengan posisi sebagai Procurement Assistant Manager, nggak mungkin banget aku nggak terima kalau dia menceritakan kekonyolanku atau sekedar menganggapku konyol. Karir baru dimulai, aku nggak pingin berhenti gara-gara persoalan sepele. 
Lagipula, jauh di lubuk hati, aku tau bahwa Ci Pam itu baik dan nggak ada maksud untuk menyakiti. Bahkan, ia sangat yakin aku adalah kandidat penggantinya. Ci Pam beruntung banget, tapi itu karena dia memang punya talenta juga. Kata anak-anak kantor, Ci Pam resign karena akan menikah, tapi setahun kemudian ia kembali lagi, dan kebetulan juga posisi yang dia tinggalkan kosong. Procurement Assistant Manager penggantinya nggak sanggup melakukan pekerjaan sebaik dirinya. Menurut Ci Pam, memang nggak cocok kalau Procurement Assistant Manager itu berasal dari luar, karena kerjaan di sini ibarat main game, yang punya trik tersendiri, tiap tahun kita akan bekerja lebih cepat dengan keribetan yang ada. 
Kupandangi Lucia dengan T-shirt kuning bergambar SpongeBob Squarepants dengan muka nyengir si makhluk kotak itu. Ke mana semua koleksi Doraemonnya? Dari makhluk bundar berwarna biru, sepertinya sekarang cintanya telah pindah ke makhluk kotak berwarna kuning. 
Hening. Mungkinkah kedua manusia tukang ngakak itu telah kehabisan cerita konyol untuk dibagikan? 


Jadi, Ci Pam baru saja bercerita tentang kekonyolanku yang terakhir, tentang sindikat TBC. 
Lantas, Lucia memutuskan untuk bergabung dengan semangat 45. Oh ya, mereka terdiam karena meminta pendapatku. 
"Dua kepala lebih baik daripada satu. Tiga kepala lebih baik daripada dua," jawabku diplomatis. 
Nggak sangka kok ada yah yang terjaring sedemikian cepatnya? Dengan cara yang tak terduga pula. Benarkah kata-kata itu menjadi mantra? When you want something, all the universe conspires in helping you to achieve it.
"Tak Butuh Cinta," ulang Lucia. 
Dia melanjutkan, "Gua anti cinta-cintaan sama cowok, tapi gua menghargai cowok yang punya kemampuan, tanpa harus jatuh cinta. Gua lebih suka kehidupan pribadi gua tanpa cowok, apa salah?"
Aku dan Ci Pam mengangguk-angguk tanda setuju dengan pendapat Lucia.
Lucia mendadak beranjak pergi, mengambil strawberry yogurt freeze-nya telah siap disajikan oleh bartender.
Strawberry Yogurt Freeze (ilustrasi by google)

Dia kembali dan berkata, "Tri, gua sering lupa nama lo. Tapi gua ingat selalu bilang sama Mama gua kalo gua akan cari pacar kalau lo menikah."
"Oh," kataku ternganga atas proses pengingatan kembali yang membuatku terkejut. 
Sumpah yang aneh, sungguh!

Words count: 1022

Kamis, 05 Januari 2012

Me vs TBC [Part 5]

Bab 2
Sebuah Sindikat
_____
Obrolan Ngaco 

"Sindikat Tri? Lo udah gila apah?" tawa Pamela kemudian menggelegar dan membahana udara.
Untung sih aku sudah mengajak Ci Pamela untuk duduk di tempat yang nggak terlalu mencolok, di pojokan. Namun ya, agaknya usaha Triana ini agak sia-sia. Di manapun ada Pamela, di situ pula ada magnet super yang menyita perhatian orang-orang.
Gimana nggak, sore ini dia pakai terusan merah jreng tanpa lengan yang dikombinasikan dengan belt hitam lebar di bawah dada yang mempertegas magnet utamanya. Belom cukup apa rambutnya yang lagi pengen dibikin ala Korean girl: keemasan, berponi, dan ikal di bagian bawah? Ditambah lagi dengan high heels yang sama keren tapi nggak cocok untuk jalan-jalan tanpa rasa sakit yang super tinggi. Anting dan kalung manik-manik mutiara besar dan kecil, dan aroma parfumnya yang menggoda.
Kalau ada satu hal yang aku syukuri dari Ci Pam (itulah panggilan akrabku untuk sosok super eye-catching dan selalu eksis ini) adalah dia nggak punya kebiasaan merokok. Well, tentu saja dulu dia penikmat rokok, tetapi menjadi sangat membenci rokok setelah melahirkan Amy, putrinya satu-satunya. Kalau ada yang merokok dekat-dekat Amy pasti deh ditegor sama Ci Pam, padahal kan bisa tinggal pindah duduk aja.
Oh ya, sindikat. Jadi kami berdua berencana membuat sindikat. Supaya lebih keren dan terarah.
"Tri," katanya sambil mencomot donat tiramisu favoritnya.
"Ya," balasku sambil menunggunya selesai mengunyah.
"Lo tau nggak, sindikat itu artinya apaan?" lanjutnya.
Daripada aku dikatain bego lagi (dan sudah cukup itu hanya berlaku di kantor), maka aku memutuskan untuk bertanya kepada Mbah Google. Hehehe... kok kayaknya sindikat itu artinya berkonotasi negatif ya?
"Ci Pam," kata-kataku terdengar gundah gulana.
"Emangnya lo mau jualan narkoba Tri?" cerocosnya. "Atau mengedarkan uang palsu? Atau menyelundupkan TKW?" lanjutnya sambil tertawa ngakak.
Buset nih orang kok ngakaknya nggak tanggung-tanggung ya! Agak malu, aku menyeruput choco blended dan mengelap bibir dengan tissue empuk.
"Don't lose your idea, quickly write them down!" kata-kata yang tertulis di tissue itu.
Tissue JCo (illustrasi by JCo)

Bulpen bulpen. Mana ya tuh bulpen? Ah, sejak ada yang menemukan Blackberry dan aku menjadi salah satu konsumennya gua selalu mengandalkan si mungil ini untuk berbagai hal penting, terutama catat mencatat, bahkan kadang langsung aku fotoin tuh deretan tulisan daripada dicatat-catat.
"Cari apaan lo? Heboh amat," Ci Pam melirik sedetik ke arahku.
Memang udah bakat nujum kali ya, langsung saja Ci Pam menyambung, "kalau lo ada ide, yang paling penting tuh niat untuk melaksanakannya, bukannya mencatatnya. Nah, ide lo apaan?"
"Gua pengen punya sindikat Ci, sekali saja dalam hidup gua, can you make it happen?" candaku padanya.
Alamak, ngakak again! Masa aku harus menyeruput choco blended lagi dengan malu?
"Okey... sindikat... sindikat... sindikat apaan ya?" tanyanya balik padaku.
Entahlah, aku sebenarnya juga nggak tau pengen sindikat apaan dan entah apa gunanya. Mama bilang, aku ini orang yang punya keinginan aneh, dan itulah yang menjadikanku spesial. Dari dulu. Sebisa mungkin Mama selalu membantu mewujudkan hal-hal aneh ini, dan sebisa mungkin tidak berkata tidak mungkin mewujudkannya. Tapi jujur ya, ketimbang membantu Mama dan Papa lebih banyak tertawa. Dan mereka tertawa lebih keras saat aku benar-benar mewujudkan ide gilaku.
Penasaran? Salah satu saja aku ceritakan yang paling spektakuler. Aku pernah mendekorasi kamar tidurku dengan tema hutan. Saat itu Papa melarangku untuk ikut kemping. Aku sangat ingin merasakan bagaimana kalau harus tidur di hutan, jadilah aku mengeluarkan tempat tidurku dan menggantinya dengan dipan bambu, menebarkan dedaunan di atasnya, mengganti bantal dengan karung goni yang diisi daun, menempelkan daun-daun di gorden dan perabot, menggotong beberapa pot tanaman dari halaman belakang rumah, dan menaburkan tanah di lantai kamar. Hahaha... meskipun akhirnya menyerah sendiri dengan ketidaknyamanan yang aku buat, aku telah mewujudkannya! Ada aliran adrenalin yang lebih spektakuler dibandingkan berhasil naik Tornado di Dufan.
"Tri,"
Kesenduan dalam suara Ci Pam berhasil mengalihkan pikiran Tri yang sedang melayang-layang gila.
"Menurut lo Tri, seberapa yakin lo, bahwa we needs money more than love?" tanya serius
Eh, apa ini? Kok jadi diskusi serius tentang kehidupan.
"He?" lirikku sambil mencerna kembali kata-katanya.
"Tadi siang, lo bilang begitu kan ke anak-anak kantor yang bilang kita berdua ini bego banget karna nggak memanfaatkan potensi kita menggaet pria. Trus lo bilang: we needs money more than love. Tapi, kadang-kadang kita butuh cinta juga kan Tri," sambungnya.
Sebelum apa yang aku pikirkan menghilang, buru-buru aku menjawabnya,
"Butuh sih Ci. Gua ya ga kebayang kalo ga ada yang cinta sama gua. Contohnya aja Cici, Mama, Papa, begitulah. Tapi kalo cinta yang spesifik dari cowok, gua rasa nggak butuh sih Ci. Begini aja gua udah bahagia. Nah, kalo nggak ada duit, baru gua bingung deh gimana caranya hidup."
Ci Pam masih terdiam. Jadi aku lanjutkan saja yang menurutku benar. Mungkin ya kalau dikasih waktu koar-koar 1 jam aku juga nggak akan berhenti. Hihihi...
"Sekarang ini sih, gua rasa gua nggak butuh cinta dulu, Ci. Gua pengen punya karir yang bagus dan nggak mikirin cinta dulu. Kalo memang udah jodoh, pasti datang sendiri kan? Daripada stress kayak Agnes yang ngejar setiap cowok cakep atau..."
"Atau seperti gua yang hubungan cintanya kandas karena materi?"
Adududu... kok rasanya ada yang mau curhat ya?
"Dulu Tri, gua yakin hidup bersama Andre walaupun dia pengangguran, dia cinta banget sama gua, dan gua juga. Tapi kenyataannya, walaupun gua nggak pernah membahas soal uang, dia merasa tertekan dan pergi. Padahal gua dan dia sudah punya Amy, dan saat itu gua nggak bisa kerja karna harus urusin Amy. Ada sepupu Andre yang membantu dan perhatian banget sama gua, lagi-lagi gua jatuh cinta dengan mudahnya, tapi dia malah bilang gua nggak harus menjadi cinta karena dia telah membantu gua. Gua marah dan berniat mengembalikan semua yang pernah dia berikan untuk gua. Gua titip Amy ke Mami gua, bekerja dan mencari-cari dia yang nggak pernah gua temukan. Lama-lama yang gua pikirkan adalah bagaimana Amy bisa cukup kebutuhannya, dan gua juga. Hanya itu. Cinta gua seluruhnya untuk Amy."
Air matanya tertahan, dan benar-benar tak keluar meskipun matanya berkaca-kaca.
Tring tring, tiba-tiba aku mendapat ide yang bagus.
"Ci Pam, tadi gua ngomongin sindikat, lalu lo ngomongin cinta. Kita satuin aja. Sindikat kita Tak Butuh Cinta. Gua singkat TBC," kataku sambil mengerlingkan mata.
"Uhuk uhuk, lo sakit TBC? Hahaha..."
"Abisnya apa dong, Ci?"
"Ya udahlah, itu ajah, gua lagi malas mikir!"

Words count: 1013

Penjelasan Istilah

Belum dalam format yang rapi ataupun baku, sekedar ingin memudahkan pembaca memahami istilah-istilah yang mungkin baru pertama kali diketahui. Semoga membantu ya :)

Auditor -> pemeriksa
Umumnya kata auditor yang dipakai untuk menggambarkan profesi Akuntan Publik (Akuntan Eksternal). Akuntan Publik adalah pemeriksa yang independen, tidak merupakan bagian dari perusahaan/organisasi yang diperiksa. Akuntan Publik bertugas memeriksa laporan keuangan yang diterbitkan perusahaan/organisasi: apakah telah sesuai standar umum, tidak mengandung informasi yang salah, dan tidak mengandung kecurangan. Dengan demikian seorang Akuntan Publik (auditor) harus memiliki pengetahuan yang cukup di bidang Ilmu Akuntansi.

Procurement -> pengadaan
Perusahaan/organisasi yang besar biasanya memiliki departemen-departemen, seperti: Human Resource Department, Sales Department, Accounting Department, juga Procurement Department. Procurement bertugas untuk mengadakan kebutuhan yang dibutuhkan oleh departemen lain. Yang dapat termasuk dalam procurement department adalah: bagian pembelian (baik melalui negosiasi maupun pembelian langsung), gudang, dan distribusi barang yang bukan untuk dijual ke departemen-departemen lain. Umumnya Procurement Staff mengacu kepada orang yang berfungsi melakukan komunikasi dengan user tentang kebutuhan user, melakukan pemilihan dan supplier, membuat order, negosiasi, dan bila perlu meeting dengan supplier terkait.

Online Shop -> toko online 
Jejaring pertemanan di dunia maya + kecanggihannya memungkinkan orang menciptakan "pasar" di dunia maya. Lazimnya toko online menggunakan foto, keterangan, dan cara melakukan transaksi. Lalu uang ditransfer dan setelah dikonfirmasi maka barang akan dikirimkan. Adapula yang menggunakan metoda pembayaran dengan paypal. Keuntungan dari toko online ini, tidak membutuhkan toko yang nyata, namun tidak tertutup kemungkinan berkembang menjadi toko yang nyata, maupun sebaliknya toko yang nyata membuat versi onlinenya.


Review -> menelaah/melihat ulang apakah ada yang kurang 
Telaah biasanya dilakukan oleh atasan terhadap pekerjaan bawahannya. Dengan demikian dapat diketahui apabila ada yang perlu diperbaiki, ditambahkan, atau bahkan tidak perlu untuk dicantumkan. Review dilakukan setelah pekerjaan selesai dilaksanakan dan tidak menutup kemungkinan ada tambahan pekerjaan setelah review. Review adalah proses untuk menjadikan pekerjaan tersebut sempurna dan benar.

Downline -> bawahan 
Entah mengapa, bawahan kok berkesan kasar sekali ya, sometimes kita memang lebih suka pake bahasa Inggris untuk alasan tidak terlalu menjatuhkan mental orang lain (lah ilah malah curhat :p). Downline berbeda dengan junior. Junior lebih mengacu ke jangka waktu, siapa yang bergabung duluan dianggap lebih senior, sementara yang belakangan lebih junior. Sementara downline lebih dimaksudkan untuk atas dan bawah.

Purchase Order (PO) -> nota pembelian 
Pembelian (khususnya kredit/non tunai) lazimnya menggunakan PO. PO berupa selembar kertas yang biasanya dicetak rangkap 3 (satu untuk supplier, satu untuk procurement, satu untuk gudang). PO dikirimkan oleh procurement kepada supplier agar barang dikirim sesuai pesanan, dan ke bagian gudang agar barang yang dikirimkan dicocokkan dengan yang dipesan. Sementara bagian procurement menyimpan miliknya sebagai dokumentasi.

Quotation -> penawaran harga 
Quotation adalah selembar kertas yang berisi spesifikasi barang/jasa berikut harganya yang ditawarkan supplier kepada customernya. Quotation ada masa berlakunya, dan sebelum masa berlaku habis biasanya dilakukan negosiasi kepada supplier. Quotation yang telah disepakati wajib ditandatangani oleh kedua belah pihak (supplier dan customer), kemudian dijadikan dasar PO.

Supplier -> penyedia barang/jasa
Lazimnya sih penjual, tapi ada nilai rasa yang berbeda. Penjual mengarah ke orang yang berjualan langsung, sementara supplier ke penyedia barang/jasa, baik yang standar maupun yang sesuai dengan permintaan customer.

Lainnya, menyusul. Boleh usul kalau ada kata yang ingin ditambahkan penjelasannya di sini.

Me vs TBC [Part 4]

Paginya Retna 

Kamar kost ini memang sangat mungil, tapi cukup buat Retna beraktifitas. Mungkin karena sudah terbiasa dengan kamar yang kecil dan nggak suka terlalu banyak barang. Sederhana, itulah yang dipancarkan oleh diri Retna. Cantik, manis, dan soleh, kalau pulang ke kampung halaman banyak saja yang menyayangkan status single-nya. Rekan-rekan seumurnya sudah sibuk mengurus anak-anak balita mereka, masing-masing membanggakan kehebatan anak-anaknya. Ya, Retna memang hanya bisa tersenyum sopan dan mendengarkan.
Orang tua Retna memang agak terganggu dengan status single anak bungsu mereka, tetapi tidak menemukan orang yang tepat untuk dijodohkan kepada Retna. Retna adalah anak bungsu dari 8 bersaudara, dan hanya ia satu-satunya yang berhasil menembus pendidikan hingga perguruan tinggi. Lebih membanggakan lagi, Retna sekarang bekerja di salah satu Kantor Akuntan Publik di Jakarta. Masuk tahun ketujuh bekerja di kantor ini, Retna telah menjadi auditor yang diperhitungkan kemampuannya. Penghasilan Retna juga telah mengangkat derajat keluarganya, mereka adalah keluarga termakmur di kampung. Kedua orangtua Retna yang dulunya buruh tani telah menjadi peternak sapi dan kambing, juga menjadi pemilik sawah. Berbagai perhelatan juga mereka lakukan besar-besaran, terutama setiap Idul Adha. Retna juga adalah penyandang dana untuk kemajuan pertanian di desa, setiap bulan didatangkan tenaga ahli untuk memberikan penyuluhan secara gratis kepada semua petani dan peternak.
Banyak yang bertanya-tanya apa yang dilakukan Retna di Jakarta, tak jarang pula ada yang iseng menggosipkan bahwa Retna memperoleh uang dengan cara yang tidak halal, hingga Retna sempat ngambek untuk pulang kampung. Hingga setahun kemudian saat anak Pak Kades bernama Shania ngotot untuk berkuliah jurusan Akuntansi, orang-orang kampung agak paham apa pekerjaan auditor yang dilakoni oleh Retna tersebut.
"Aku harus kuliah akuntansi seperti Mbak Retna supaya bisa menjadi Auditor seperti Mbak Retna. Auditor itu keren, kalau yang di pemerintahan namanya BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Auditor itu harus orang yang ahli dan mengerti bagaimana laporan yang isinya angka-angka bisa berpengaruh terhadap orang yang membaca. Untuk itu auditor harus memeriksa kebenaran angka-angka yang tertera itu. Nggak semua orang bisa seperti itu," kumandang Shania kepada siapapun yang bertanya mengapa putri Pak Kades itu ngotot ingin ikut jejak Retna.
Kalau ada yang berani melirik Retna, pastinya bukan lelaki dari kampungnya. Semuanya minder meskipun Retna tidak pernah bertingkah laku sombong. Dan yang paling penting Retna sendiri tidak merasa terganggu di umur 28 tahun belum berumah tangga. Banyak pekerja kantoran seumurannya yang masih melajang dan tidak mempunyai pacar, apalagi suami.
Tak puas-puas memandang foto keluarga besarnya yang terpampang di dinding kamar, Retna tersenyum.
"Aku bahagia bila mereka bahagia," batinnya.
Adzan berkumandang. Saatnya sholat subuh, lalu tidur sebentar agar ada energi lagi untuk lembur setengah hari nanti.

Alarm jam 8 kurang kurang 10, buru-buru Retna mandi. Seperti biasa setelah mandi ia mengetok kamar Lucia yang dilalui sebelum kamarnya dan memastikan si badung itu menyahut dan membuka pintu. Seperti biasa, terseok-seok dan dengan ekspresi tersiksa Lucia yang sudah dianggap adik sendiri oleh Retna itu akan berjalan ke kamar mandi.
Setelah berpamitan, Retna buru-buru berjalan kaki ke kantor. Kost-nya sangat dekat dengan kantor, berada di belakang kantor. Secangkir milo hangat dari mesin pembuat minuman otomatis di kantor yang terbayang
membuatnya bersemangat untuk sampai lebih cepat.
Pemandangan 7 tahun lalu berkelabat, dulu karirnya dimulai dari berjejal di kubikel dan mengerjakan pekerjaan remeh temeh seperti menjumlahkan ulang dengan kalkulator. Seulas senyum tersimpul di wajahnya saat memandang ke ruangan yang baru dihidupkan lampu olehnya itu. Sementara sekarang, ia memiliki ruangan kerja sendiri dan banyak downline yang bekerja untuknya.
kubikel (illustrasi by google)

Tidak banyak orang yang bekerja lembur di hari Sabtu, hanya beberapa tim audit yang dikejar deadline. Tim yang dirancang Retna untuk menuntaskan audit PT ASD memang patut diancungi jempol. Tiga cewek yang berbadan ceking itu mampu menuntaskan pekerjaan hanya dalam 1 minggu, dengan lembur mati-matian pastinya. Karena kesibukan dengan klien lain, Sabtu ini Retna memutuskan untuk me-review pekerjaan mereka. Bahkan Tina si pemimpin tim akan datang jam 9 untuk mendengarkan hasil review Retna.
Pekerjaan yang rapi dan sangat memuaskan. Ada beberapa poin penting yang harus ditelusuri lebih lanjut telah diketik Retna dan dicetak pada selembar kertas HVS. Tak terasa satu jam berlalu dan Tina menghampiri ruangan Retna dengan penuh keceriaan.
"Hai Ret, gimana ASD? Ada tambahan?" celetuk ceria gadis itu.
Retna memaparkan beberapa hal yang dirasa kurang lengkap dan Tina mengangguk-angguk penuh pengertian, lalu berlalu dari hadapannya.

Milo hangat. Hampir saja Retna lupa. Bergegas ia berjalan ke mesin pembuat minuman otomatis dan memencet tombol MILO. Buih-buih dan bau khas coklat membuatnya tersenyum kembali, melupakan tidur yang hanya 3 jam. Banyak orang yang senang minum kopi untuk menghilangkan kantuk, tapi Retna tidak demikian.
Milo Hangat (illustrasi pribadi)

Dering telpon di mejanya terdengar nyaring di tengah kesunyian. Retna bergegas kembali ke ruangan.
"Mbak, brunch at Pancious. Now?" cerocos Lucia saat telpon diangkat Retna.
"Okay, duluan ngesot gih. Pesanin gua double pancake with oreo ice cream, sama sweet ice tea sedikit es. Gua sekarang naik taksi ke sana."
"Sip, Mbak, see you there!"
Hahaha... cepat saja anak itu, pasti udah lapar berat. Lucia Lucia... setiap tingkah lakunya selalu membuat Retna tertawa. Ada saja manusia macam ini, yang membuat hidup Retna nggak terlalu monoton.
Sebenarnya sih, makan siomay di depan Atmajaya dan makan Pancious di Pasific Place bersama Lucia nggak ada bedanya. Sama senangnya, karena Lucia selalu ceria dan punya banyak cerita. Apalagi cerita tentang ketololan SpongeBob. Makhuk gabus bujur sangkar berwarna kuning yang Lucia jadikan teman setia sejak jaman kuliah itu telah menjadi maskot kesayangan Lucia.
Terharu juga kalau ingat si tomboy Lucia yang mengaku baru pertama kalinya menangis saat Retna harus berangkat meninggalkan kost untuk menerima tawaran kerja di Jakarta. Lucia meraung-raung... hahaha... 3 tahun kemudian, Retna menemukan Lucia sedang menangis pilu ditemani dua orang cewek lainnya di Jco Semanggi.
"Lucia, kenapa? Lucia kan?" tegur Retna saat itu.
"Jangan sok kenal deh!" balas Lucia sengit.
"Ingat ini?" Retna menyodorkan gantungan handphone Spongebob pemberian Lucia.
Sontak Lucia langsung meraung-raung memeluk Retna, lalu memperkenalkan Retna kepada Triana dan Pamela. 
Hahaha... sudahlah, Retna malah asyik melamun sambil menyeruput milo hangatnya.
Perlahan Retna mengemasi barang dan pamit pulang duluan kepada tim ASD yang masih bekerja. Mungkin nggak pergi lama sih, setelah brunch dengan Lucia, Retna akan kembali bekerja memeriksa kembali kekurangan pekerjaan downline-nya.

Words count: 993

Me vs TBC [Part 3]

Paginya Lucia

Kamar kost yang sempit dan sumpek itu nggak jadi soal untuk membuat Lucia tetap tidur nyenyak. Kata Mama, kost tempat tinggalnya ini sangat nggak manusiawi, udah kayak penjara. Gimana nggak, ukurannya 2 x 2,5 meter. Begitu pintu kamar dibuka, langsung berhadapan dengan samping lemari pakaian. Ada celah kecil untuk berjalan ke arah tempat tidur, itupun setelah menggeser kursi meja rias. Meja rias itu terletak pada bagian kaki tempat tidur, super minimalis yang dipenuhi laptop, komik-komik, DVD-DVD Korea, alat make-up, alat tulis, dan pernak-pernik lain yang tindih menindih. Belum lagi tempat tidur yang dipenuhi dengan koleksi boneka Sponge-Bob beragam gaya dan ukuran di tempat tidur, lantai, atas lemari, dan ada juga di tempat-tempat yang tak terduga. Paling parah, kamar itu tanpa jendela dan mengandalkan dinginnya angin AC.
Spongebob Squarepant (ilustrasi by google)

Entah keturunan darimana kebo-nya Lucia ini. Mama dan Papa super rapi, selalu bangun sebelum jam 6 pagi dan membaca Kitab Suci. Seramai-ramainya koleksi patung Mama, nggak ada yang nggak sedap dipandang. Yah, kalau Mama datang juga kamar ini akan jadi surga mini yang rapi dan wangi, tapi nggak nyaman untuk ditinggali. Xixixi... habisnya Mama bawel banget!
Mungkin ya, karena nggak terbiasa merapikan sendiri sih, makanya Lucia hidup seperti ini. Hidup di surga kecilnya sendiri yang super berantakan, tapi ia tau di mana letak semua barangnya! Well, takes time untuk mencarinya, tapi paling nggak ia selalu berhasil menemukan apa yang dicarinya. Nggak cuma rapi-rapi, kebiasaan bangun sendiri juga nggak ada. Selama kuliah 4 tahun tinggal di kost di Jogja, bukannya belajar mandiri, adanya tambah bebas untuk telat datang kuliah. Hehehe...
Dannnnnnnn kayaknya hari sudah pagi. Bbm yang masuk tak henti menghasilkan cicit-cicit yang mengganggu kenyenyakan tidur Lucia. Mengapa ada orang-orang seperti Triana yang setiap pagi suka broadcast sesuatu yang inspiratif ke semua contact? Niatnya sih untuk menginspirasi orang lain, tapi buat Lucia yang ada untuk membangunkan dengan sesuatu yang berat dibaca dan membuat pengen tidur lagi. Hehehe... tapi jangan sampai Triana tau atas hal ini.
Oh ya, dan juga ada orang-orang sok eksis seperti Cici Pamela. Setiap saat ngelaporin aktifitasnya, kayak artis ajah. Mulai dari janda bahenol itu buka mata, bersiin rumah, lari pagi, bikin sarapan sendiri atau lagi sarapan di mana plus fotonya, mandi pagi, beol pagi (seriusan ini kan nggak penting untuk dikasih tau ke orang-orang ya???), apa yang akan dilakukan hari ini, belum lagi barang-barang yang dia jual di dunia maya. Aih, berisiknya. Cuman angkat topi juga buat suksesnya eksistensi dan juga bisnis si bawel ini. Cocok kali kalo didudukin berdua sama Mama. Hahaha...
Bisa dibilang hanya Retna yang sejiwa siklus hidupnya dengan Lucia. Bedanya, Retna bangun kesiangan karena tidurnya juga kemalaman, dan tidur kemalaman karena kerja keras dan bukannya browsing tak henti atau nonton DVD Korea. Paling nggak, ada seorang teman yang nggak akan mengganggu paginya dan menjadi sahabat setia di kala-kala jadi kalong. Si cengeng itu pasti lagi mandi, kedengeran cebar ceburnya. Dan abis mandi pasti ngetukin kamar Lucia.
"Tok tok tok..." tuh kan benerrr, baru juga dikatain udah beraksi.
"Iya Ret, gua mandi," sahut Lucia sambil tergopoh-gopoh ia keluar kamar dengan gaya zombie abis dan muram durjana, berengsek ke kamar mandi.
Nggak lama makhluk yang nggak bisa ilang medoknya itu sudah pamitan berangkat duluan.
"Lulu, gua duluan yaaaa," katanya riang gembira. Aneh, lembur aja seneng!
Tanpa disahutin juga udah ngacir tuh Retna, dan Lucia mandi sambil mengumpat klien gede yang rese minta deal hari Sabtu. Aaaaargh, ganggu acara molor aja!!!!

Bagaikan bumi dan langit, keadaan kamar dan kantor Lucia, begitu juga keadaan dirinya di kost dan di kantor. Siapa sangka sih sekretaris yang super stylish dan rewel kebersihan ini aslinya super berantakan???
Tik tok tik tok. Detak jam dinding di ruang super dingin ini membuat Lucia bergidik. Ah, pikirannya terbawa-bawa sama film horor Jepang semalam neh, sial!
Sepi sih sepi, tapi nggak ada yang menyeramkan dari ruangan ini. Bertempat di Pasifik Place, kantor ini nggak kalah mewahnya dengan kapal pesiar. Plus kerjaan di kantor ini nggak begitu ribet. Paling-paling dalam sebulan ada dua atau tiga meeting dengan klien yang bonafid, Lucia yang atur semua untuk meeting dan membuat laporannya. Untuk meeting final, mendampingi si bos bule dan tim yang arsitek yang akan terlibat.
Ada juga sih tambahan kerjaan untuk pegang petty cash dan buat pertanggungjawabannya. Paling buat bayarin uang Aqua Galon atau lemburnya Pak Sarman, orang filing. Lebih enak Pak Sarman lagi, tugasnya sebagai orang filing cuman nyimpen dokumen dan nyari dokumen. Kaki tangan Lucia gitu. Hahaha...
Sisanya? Yaaa, betah-betahin aja, maen facebook dan blogging sepuasnya. Angkat telpon dengan profesional, ngobrol sama Cici Pamela di telpon (kalau dia lagi nggak sibuk), atau bisa jelajah mall sama Berna, akuntan satu-satunya, kalo dia lagi nggak closing.
Sudah satu jam, nggak kunjung ditelpon nih sama perusahaan minyak dan gas yang mau pakai jasa Arsitex. Siaul, sibuk sih sibuk, baru sih baru, tapi bosen juga udah bela-belain datang kok nggak ada kerjaan. Mana Berna lagi nggak closing lagi, nggak ada temennya pulak. Huhuhu... sendiri... sepi...
"Kring... ," bunyi manis si telpon putih.
Nggak sabar sih, tapi jaim juga angkatin di dering pertama. Hahaha...
Dering kedua, Lucia mengangkat telponnya, "Morning. Arsitex, Lucia speaking. May I help you?"
"Ini gue!" sahut suara di seberang telpon.
"Ajigile, kok elu sih Tri???" Lucia cengok. Ah, tau yang mau nelpon Triana, suruh aja telpon ke handphone dan nggak perlu masuk kantor segala. Argggggggh... bbm aja sekalian, atau ntar malam aja sekalian ngomongnya.
"Gue gantiin Cici Pamela. Hehehe..." pasti deh Lucia lupa, dasar tuh anak cuman mikirin artis Korea.
"Oh iya, ohemji, gua lupa. So, lu mau minta harga berapa? Meeting-nya kapan? Mau pakai siapa arsitek dan anggota timnya?" sosor Lucia.
"Ikutin yang biasa dulu-dulu dipakai aja. Meetingnya Senin aja, jam 9 pagi, gue dan manager. Gue minta quotation dan contoh-contoh design office. Fax ke gue ya," Triana udah mulai serius.
"Okeh, dan let me go home abis ngerjain semuanya. Bye Tri," sambung Lucia dengan riang gembira.

Klak klik klak klik. Selesai sudah kerjaan untuk dikirimin ke Triana.
Mumpung masih di kantor, telpon Mbak Retna dulu ah. Kali-kali dia minat untuk brunch di Pancious, lumayan nggak harus makan sendirian. Lagian Sabtu gini, lembur iya tapi nggak terlalu hectic lah ya.
"Mbak, brunch at Pancious. Now?" cerocos Lucia saat telpon diangkat Retna.
"Okay, duluan ngesot gih. Pesanin gua double pancake with oreo ice cream, sama sweet ice tea sedikit es. Gua sekarang naik taksi ke sana."
"Sip, Mbak, see you there!"
Oreo Pancake (illustrasi by google)
 

Word count: 1047

Senin, 02 Januari 2012

Me vs TBC [Part 2]

Paginya Pamela 

Amy masih terlelap. Wajah bulat putihnya seperti malaikat, manis dan menyihir. Tak bosan-bosan kupandang Amy, buah hatiku. Mami benar, aku mencintai Amy meskipun Amy selalu mengingatkanku pada Andre.
"Kamu dan Andre yang berdosa, Pam. Bukan anak yang ada di rahim kamu. Bayi itu berhak untuk hidup, kamu dan Andre bisa menikah. Kalian sudah berdosa dan jangan menambah dosa lagi dengan membunuh," kata-kata Mami saat aku mengadu 6 tahun yang lalu.
Pamela membelai Amy yang tetap lelap tanpa merasa terusik. Aku sungguh tak menyesal mengikuti kata-kata Mami. Amy tak berdosa, hingga kini tak ada gurat dosa apapun di wajah bocah itu. Andre? Entah ke mana dia sejak Amy berumur 1 tahun. Andre tampaknya tak siap untuk menjadi ayah. Andre yang suka berhura-hura itu merasa terkekang dan terganggu dengan kehadiran Amy.
Setelah mengecup putri semata wayangnya, Pamela beranjak pergi. Sudah jam 7, setengah jam lagi take-off, tapi ia masih di kamar Amy. Terburu-buru Pamela menaiki ojek dan berangkat ke bandara Hang Nadim.

Selamat tinggal Batam. Pamela akan sangat merindukan lagi momen bahagia untuk berkumpul bersama Mami dan Amy. Kehadiran Amy menjadi obat tersendiri bagi Mami yang setahun ini ditinggal Papi. Berkat Amy, Mami nggak begitu kesepian dan larut dalam duka atas meninggalnya Papi.
Senyuman dan tawa renyah Amy saat main di Timezone, makan seafood di Batu Besar, dan berbelanja bersama di TOP 100 masih terbayang di benak Pamela. Sempat ia tak memikirkan Amy, hanya memikirkan agar tak ketinggalan pesawat di sepanjang perjalanan dari rumah ke bandara.
Cukup dekat lokasi rumah Mami dengan bandara, kira-kira 15 menit saja, tapi tetap saja rasa deg-deg ketinggalan pesawat itu menguasai dirinya, membuatnya lupa dengan Amy, bahkan dengan cacing-cacingnya.
"Belum terlalu terlambat untuk sarapan di Soekarno-Hatta saja," batin Pamela.
Perjalanan ini kurang lebih hanya 1 jam, tanggung juga untuk tidur. Baru merem udah nyampe ntar, hehehe... jadi Pamela memutuskan melakukan sesuatu yang lebih berguna, mengasah otak dengan Sudoku versi buku, daripada suntuk atau termenung.
5 menit telah berlalu dan 1 puzzle Sudoku telah berhasil ia tuntaskan. Terbayang olehnya Amy yang tak mengerti dengan permainan Sudoku yang sangat digandrungi oleh Pamela. Kotak besar yang terbentuk dari 81 kotak kecil, kotak tersebut beberapa telah diisi dengan angka, dan tugas pemain adalah menebak sisanya. Dalam 1 baris dan 1 kolom diiisi dengan angka-angka 1,2,3,4,5,6,7,8,9 tanpa ada yang sama dalam 1 baris atau kolom. Ya, gampang-gampang susah sih. Permainan logika dari Jepang ini juga punya tingkat kesulitan yang berbeda. Pamela sendiri sudah sampai ke tingkat mahir setelah bermain selama 2 tahun lebih.
Ilustrasi puzzle Sudoku (image by google)

Amy. Ada rasa senang bercampur sedih kalau ingat sosok malaikat mungil itu. Semua yang Pamela lakukan saat ini adalah demi Amy. Pamela tak takut untuk berjuang sendirian di Ibukota agar Amy memperoleh makanan yang bergizi dan pendidikan yang terbaik. Tapi lama kelamaan, ada satu yang Pamela rindukan: tetap bersama Amy sepanjang hari, seperti 2 hari ini.
"Kadangkala uang adalah pangkal kebahagiaan. Tetapi tak dapat dipungkiri ada kebahagiaan yang tidak dapat dibeli dengan uang. Uang hanya membuat kita lebih mudah untuk memilih pemuas agar kita merasa bahagia," kata-kata bijak Retna mengalir di pikiran Pamela yang berkelana.
Kebahagiaan yang Pamela inginkan akan segera ia wujudkan, tahun depan. Bersabarlah setahun lagi Amy. Setelah Amy menuntaskan TK di Batam, dan saat Pamela mantap dengan usahanya, Amy dan Mami akan pindah ke Jakarta bersama Pamela.
Pamela merasa siap untuk menjadi pengusaha. Tak hanya berjualan online, sekarang ia telah membuka sebuah butik pakaian dan aksesoris wanita di wilayah Benhil. Lumayan sih, melebihi gaji waktu kerja sebagai Procurement Assistant Manager waktu dulu. Tapi tentu saja, Pamela tidak ingin terburu-buru mengatakan semuanya telah mantap. Biarlah setahun lagi berlalu, ia yakin itulah yang terbaik.

Pengumuman ketibaan, bahwa sebentar lagi pesawat yang Pamela tumpangi akan mendarat di Soekarno-Hatta dari pramugari membuyarkan lamunan Pamela yang menjelajah bebas. Pamela sudah tidak sabar untuk mengatakan pada dunia bahwa sekarang ia telah merdeka dari ketentuan dilarang menghidupkan handphone.
Sungguh rasanya, mau mati 1 jam tanpa melihat HP. Puluhan notif membanjiri BB-nya. Satu persatu bbm, mention, ym, dan FB message ia balas. Lupa sudah Pamela dengan lamunan-lamunan sendunya.
"Udah di Jakarta dong," tulisnya pada BB grup TBC.
TBC, Tak Butuh Cinta. Pamela dan Triana nggak sengaja membuat kelompok aneh tersebut. Dulu, kebanyakan orang di Procurement Department mengatakan duo lajang dan janda cantik ini menyia-nyiakan anugrah terbesar mereka, yaitu: kapabilitas untuk menggaet lelaki manapun yang mereka inginkan. Dan Triana berkilah bahwa: Tak Butuh Cinta. Sepanjang sore mereka membahas hal itu lewat ym, dan malamnya nongkrong di JCo dan menggaet dua personil tambahan di sana.
"Gue tak butuh cinta. Sometimes, we need money more than love," canda Triana saat itu.
Dalam hati Pamela mengiyakan. Tentang Andre yang pergi karena tidak siap menjadi seorang ayah, pangkalnya sebenarnya karena secara keuangan gaji Andre hanya cukup untuk dirinya sendiri. Hura-huranya yah nempel sana sini. Pamela tentu saja lebih mementingkan kebutuhan Amy daripada menyenangkan hati Andre. Andre baik, tapi mengenai uang sangat boros berlebihan. Mereka jadi sering berantem, gara-gara cara menghabiskan uang Andre yang berlebihan.
Ah, lupakan Andre. Triana nelpon. Lucu sekali anak itu, pasti mau jejeritan soal kerjaan. Dua bulan lalu Triana sah dipromosikan untuk menggantikan Pamela yang resign dari jabatan Procurement Assistant Manager.
"Deal sama perusahaan jasa arsitektur? Arsitex maksud lo? Ya telpon lah, kayak lupa aja siapa yang bakal angkat telpon lo," cerocos Pamela ke Triana yang panik dan katanya nelpon dari toilet minta petunjuk.
Telpon ditutup setelah jawaban Triana. Maklum, kerjaan anak itu pasti numpuk dan nggak bisa berkangen-kangenan. Tentu saja Triana harus menelpon Lucia, sekretaris Arsitex yang katanya anak-anak seruangan siiiih serem abis.
Dan, saat menutup telpon kok ada Starbuck di depan mata? Yuk sarapan!

Word count: 910

Minggu, 01 Januari 2012

Me vs TBC [Part 1]

Bab 1 
Selamat Pagiiii
_____
Paginya Triana 

Sabtu pagi. Uh, alangkah indahnya kalau bisa bangun siang dan bergelung nyaman di bawah bed cover. Atau bangun pagi deh menikmati udara segar pegunungan dari jendela kamar. Hihihi... berkhayal deh ah, mana ada udara segar di Ibukota ini! Tapi tak ada gunanya mengeluh, toh besok Triana akan melakukan kegiatan paling menyenangkan di dunia itu: do nothing dan menikmati setiap tarikan nafas dan rasa nyaman.
ilustrasi pagi yang segar (image by google)

Jam 8 kurang 10 menit. Triana bukan orang yang suka telat. Paling nggak, seperti sekarang ini, 10 menit dari waktu yang telah ditentukan, ia telah siap sedia. Baginya, bukanlah sebuah kebodohan untuk menunggu. Ada banyak hal menarik yang tak terpikirkan sebelumnya untuk dilakukan, ada rasa percaya diri yang meluap, dan ketenangan di hati kalau datang lebih awal. Contohnya sekarang: Triana bisa merapikan dandanannya, menatap foto keluarga di meja kerjanya, menuliskan daftar prioritas kerja, membalas bbm dari beberapa teman, broadcast sesuatu yang inspiratif, melihat dirinya sendiri tersenyum pada cermin mungil yang ditempel di bingkai monitor komputer, dan minum segelas air putih.
Setelah puas dengan me time yang singkat itu, mood untuk bekerja sudah menggebu-gebu banget. Eh bentar, apa sih yang dikerjakan Triana?
Triana bekerja pada sebuah perusahaan minyak bumi dan gas alam (migas), tapi jangan sangka kerjaannya mengisi bensin di pompa bensin. Perusahaan yang besar dan punya banyak urusan begitu, tentunya perlu pembagian pekerjaan yang dilakukan oleh orang-orang yang ahli di bidangnya, atau paling nggak cukup ahli dalam melakukan pekerjaannya.
Triana yang lulusan Public Relation dan hobi cuap-cuap ini, sudah bergabung di sini selama 5 tahun sebagai Procurement Staff (staff pembelian). Bila ada yang memerlukan barang/jasa sebagai kebutuhan, dapat request ke bagian procurement mengenai barang/jasa tersebut, beserta spesifikasinya. Yang mencari, negosiasi, dan membeli barang tersebut adalah Procurement Staff.
Tentu saja pekerjaan Triana nggak semudah membelikan titipan ibu ke pasar, banyak hal yang harus dipertimbangkan sebelum memutuskan membeli barang/jasa bagi yang membutuhkan (user). Triana butuh kejelasan dari user tentang barang/jasa tersebut, mengecek budget user apakah masih ada untuk membeli kebutuhan tersebut ke bagian budget, meminta quotation (penawaran spesifiakasi barang/jasa berikut harganya) ke 2 atau 3 supplier barang/jasa tersebut, negosiasi yang alot dengan supplier-supplier tersebut, membuat perbandingan spesifikasi dan harga dari supplier yang telah ia hubungi, dan meminta persetujuan manager sebelum mengirimkan Purchase Order (PO) ke supplier tersebut. Banyak?
Masih ada lagi saudara-saudara! Setelah dapat kabar barangnya sampai user, kadang dapat komplain nggak sesuai dengan maunya mereka, yaaah terpaksa harus jadi perantara lagi antara user dan supplier. Urusan bayar membayar juga harus Triana urus ke bagian Accounting untuk melakukan pembayaran ke supplier terkait, melalui transfer dari rekening perusahaan ke rekening supplier.
Entah yang mana duluan, kerjain aja yang paling mendesak. Hahaha... prinsip itu menjadi pegangan Triana bertahun-tahun. Keribetan pekerjaannya ini bukan membuat Triana stress, malah membangkitkan adrenalinnya untuk bekerja setiap hari. To many things to do, dan banyak hal-hal yang tak terduga, rasanya menyenangkan sekali! Belum lagi kepuasan batin kalau bisa nawar dengan jurus-jurus mautnya.

Ruangan itu kasak kusuk. Nggak ada ketenangan di sudut manapun. Bunyi printer yang bertrit-trit, berpadu manis dengan hentakan-hentakan berirama pada keyboard. Ditambah dengan kegaduhan masing-masing: ada yang lagi bercuit-cuit di telpon, mencari selembar kertas penting yang hilang, kongkow-kongkow ngobrolin jambul khatulistiwa Syahrini sambil ngopi, dua emak di sudut ngobrolin tentang tugas sekolah anak-anaknya sambil mengetik balasan email. Polusi suara di saat jam mulai kerja. Untung saja Triana sudah menikmati me time-nya.
Itu baru suara loh, belum lagi udara. Hahaha... memang sih bukan bau menusuk seperti ada yang buang angin, tetapi sungguh nggak nikmat membaui campuran berbagai macam bau sekaligus. Parfum yang beraneka ragam, bau pengharum ruangan, kopi, ditambah bau penggoda selera indomie kari ayam yang dinikmati si gempal di pojok sana setiap pagi. Ohmigod! Inilah duniaku!
8 deal hari ini, kalau bisa lebih, target Triana kepada dirinya sendiri. Dalam kegaduhan tersebut, Triana sudah memulai misi untuk menuntaskan pekerjaannya yang pertama.
Secara Pak Tommy bagian sales toko furniture ini paling nyenengin diajak ngomong, ini aja deh duluan. Nggak pengen banget pagi-pagi mood udah rusak. Enak sih enak, tapi lebih banyak cerita yang oot (out of topic) kalau ngomong sama Pak Tommy.
"Udah jelas gua nikah aja belom, malah diajak ngomongin merek susu anak balita yang bagus. Hahaha... yaaah dilayani aja dulu deh, biar ntar negonya hati Pak Tommy seneng. Moga-moga ntar gua dapat harga yang bagus," batin Triana.
"Tri," bisik Indah rekannya sambil mengarahkan dagu ke gagang telpon yang hendak Indah berikan pada Triana. 
"Bentar... gua lagi online," bisik Triana pada rekannya. Indah langsung ngerti dan meminta si penelpon meninggalkan identitas dan pesan untuk Triana.
Nggak juga. Sambil nyerocos nego harga Triana mengetik chat pada ym. Seulas senyum mengembang, tapi ia menundukkan wajahnya agar tak tampak oleh rekan-rekan seruangan.
Maklumlah, hatinya lagi sumringah. Ada yang nyenengin hati sih. Iya itu, mahkluk yang chatting dengan Triana itu tuh.
Seneng sih boleh seneng, tapi jangan sangka bisa senyam-senyum sambil menatap daun-daun yang bergerak lincah di luar jendela. Yang ada nih ya, Triana tetap beraksi untuk make sure negonya dengan supplier ini berhasil.
Gitu deh kalo kerja di bidang procurement, harus ngadapin user yang rewel minta kebutuhannya dibeli duluan, tapi juga nggak bisa longgar ke supplier. Harus neken harga seminimal mungkin tapi caranya smooth dong.
ilustrasi menumpuknya kerjaan (image by google)

Liat saja aksi Triana mengakhiri negonya. Gimana nggak, udah 5 tahun jadi Procurement Staff, baru diangkat pula jadi Procurement Assistant Manager. Nego-negoan udah makanan sehari-hari yang tanpa henti. Yah kayak yang satu ini, Triana bercerocos lincah dengan profesional. Udah nggak kalah deh kualitas merayu mendayu-dayunya dengan penyiar radio kawakan. Hahahay...
"Siplah, Pak. Kualitas nggak turun dong ya, ntar nggak sesuai sama request user kita. Ntar quotation yang udah di-approve saya fax balik, bisa langsung kirim furniture bapak ke gudang kami. Thank you, Pak."
Ah, selesai satu. Triana menyesap hot chinese tea-nya sebelum online lagi ngadepin designer interior. Rada-rada bingung juga sih, abisnya gimana coba cara nawar jasa, job yang satu dengan yang lainnya kan nggak bisa disamakan tingkat kesulitan dan modif-modifnya. Sejak baru jadi Procurement Assistant Manager sih baru Triana berurusan dengan klien jasa profesional yang matok harga seenak udel gini. Nggak cuma modal ngomong doang, Triana juga mesti punya knowledge juga sebelum nego, takutnya ntar nggak ngerti sama bahasa-bahasa teknis mereka, cengok dah ntar.
Browsing, pelajari prosedur nego proyek-proyek lain yang sudah pernah terlaksana, minta arahan dulu dari manager, belum lagi bandingin dengan supplier lain dalam hal kualitas maupun harga. Kok banyak yah to do list untuk satu nego ini?! Ntar dulu ah, mending ke toilet dulu ah, kebelet ah. Ah ah ah...

Word count: 1071