Rabu, 29 Februari 2012

Hanya Dia Bayiku

Dia berubah, tak sama lagi seperti yang dulu. Mungkin yang aku pikirkan sama dengan yang kebanyakan orang pikirkan: untuk apa menikah kalau nggak pingin punya anak.

Kira-kira setahun yang lalu kami menikah. Hubungan rumah tangga kami harmonis dan antara dua keluarga besar saling mengunjungi dan aman-aman saja. Kalau ada acara kumpul-kumpul keluarga, banyak yang memuji kami berdua sebagai pasangan yang ideal, tentu saja ujung-ujungnya bertanya soal punya anak.

"Kami masih ingin menikmati masa-masa berdua," biasanya Mas Ardi menjawab dengan sopan.

-o-

Puas memang. Setiap hari bangun pagi dan menikmati teh bersama. Berangkat kerja bersama, kebetulan kami satu gedung meskipun berbeda kantor. Setiap Jumat lunch bersama, kadang di Pasifik Place, kadang di tempat lain. Kayak orang pacaran, kata orang-orang iri.

Sebagai seorang wanita, rasanya ingin merasakan pengalaman itu meskipun sekali seumur hidup: bagaimana rasanya mengandung, melahirkan, merawat bayi, dan membesarkannya. Apakah aku terlalu egois bila memaksa untuk hamil? Toh, sudah pernah dites bahwa tidak ada masalah pada kami berdua, sama-sama subur, tetapi kami selalu menggunakan kontrasepsi untuk mencegah kehamilan.

"Kami masih ingin menikmati masa-masa berdua," aku membeo demikian bila ditanyai orang-orang soal kehamilan.

-o-

Malam itu, sehabis memasak bersama dan menikmati masakan kami bersama, kami melakukan aktifitas yang sedikit konyol. Hanya duduk di sofa dan berpandang-pandangan, dengan mata dan senyum yang menyiratkan kebahagiaan penuh. Mungkinkah ini saat yang tepat untuk bicara dari hati ke hati?

"Mas, semua yang kita alami setelah menikah sangat indah," kataku buka suara.

"Jangan katakan kamu butuh kehadiran seorang anak agar lebih bahagia," potongnya cepat seolah membaca pikiranku.

Aku terdiam. Aku ingin bertanya mengapa, tetapi aku tidak ingin suasana menjadi seperti keruh.

"Aku hanya ingin kita semua bahagia, kita berdua dan anak kita nantinya. Cicilan apartemen, cicilan mobil, tabungan untuk buka usaha, belum lagi persiapan untuk pendidikan anak kita, semua itu adalah uang. Jangan gegabah Syahrini sayang," jelas Mas Ardi seperti sedang presentasi bisnis.

"Uang! Uang! Aku muak Mas! Apa aku ini beban? Apa punya anak itu beban? Sejujurnya, kalaupun aku berhenti ngantor kita nggak kekurangan juga!"

-o-

Baby Jevon sudah lahir, dan aku tersenyum tak habis-habisnya meskipun lelah. Baby Jevon banyak miripnya dengan Mas Ardi.

Oh ya, Mas Ardi. Aku ingin menangis kalau memikirkan Mas Ardi. Sudah jam 1 pagi, Mas Ardi belum pulang. Biasanya Ia pulang jam 3 atau 4, dengan keadaan teler. Mengapa Mas Ardi tidak dapat menerima kehadiran Jevon?

Awalnya gejala itu tak tampak. Ia tampak bahagia atas kehadiran Jevon dan sempat merasa bahwa pendapatnya untuk tidak punya anak adalah salah. Entah apa yang terjadi, aku tak tahu mengapa Mas Ardi berubah. Rasanya tak ada masalah uang, semua kebutuhan tercukupi. Yah, setidaknya sebelum Mas Ardi tenggelam dalam gaya hidup hedonis.

"Egonya, Rin," kata Jessi.

Ya, mungkin saja Mas Ardi hanya ingin dia yang menjadi bayiku.

2 komentar:

  1. Waaahh..
    Mas Ardi kelamaan gede di luar kali yak. Jadi, anggapannya tentang bayi ya begono.
    *Sok psikolog*

    BalasHapus
  2. Hahaha... klo org gede di lokal tuh banyak anak banyak rejeki ye... ini pure fiksi >.< lagi mau FF terus dgn tema "punya anak" mpe bosen... ahaha...

    BalasHapus