Jumat, 06 Januari 2012

Me vs TBC [Part 7]

Hari Bersejarah 

Melanjutkan rencana senang-senang hari itu, sindikat TBC melanjutkan acara nongkrong dengan acara karaoke. Makan siang bisa ditunda, karena kebetulan nih, perut juga udah penuh dan mulut udah nggak sabar pengen bernyanyi.
Menunggu giliran untuk dapat masuk dalam ruangan karaoke - yang konon bisa membuat orang menunjukkan dirinya sendiri - adalah hal yang sedikit menyebalkan. Tetapi tentu saja kehadiran makhluk-makhluk heboh adalah pembunuh waktu yang ajaib.
Ruangan karaoke, siapa yang punya ide buat hal beginian? Penasaran, aku mencari faktanya lewat bantuan mbah google. Jepang? Oke, mari lanjutkan membaca. Karaoke berasal dari bahasa Jepang, yaitu: kara (yang berarti tangan kosong) dan okesutora (orkestra). Jadi, maksudnya karaoke adalah orkestra kosong, hanya musik dan yang nggak seperti umumnya pertunjukan musik. Orang memang diharuskan memegang mikrofon dan mengikuti kata-kata pada tampilan layar atau buku.
Perlengkapan karaoke (ilustrasi by google)

Uniknya ya, menurutku karaoke nggak hanya sekedar menyanyikan lagu dengan baik, tapi seperti yang aku bilang tadi: ajang menunjukkan diri sendiri. Ruangan kecil yang tertutup dan katanya sih kedap suara (tapi kok ada suara yang keluar juga), bernuansa sedikit remang-remang, dan hanya berisi orang-orang yang kita inginkan untuk berkaraoke bersama kita. Apa lagi yang kurang untuk nggak menjadi diri sendiri? Mungkin sedikit minuman beralkohol? Hahaha...
Lagi-lagi hari ini memang suratan menjadi hariku berkhayal tetapi terhenti saat suasana menjadi hening.
"Luciaaaaaa!" gema suara itu diikuti pelukan erat kepada Lucia yang menatap makhluk di depannya dengan nanar.
"Lupa ya?" lanjut makhluk itu seolah paham dengan penyakit akut Lucia.
Tak aneh lagi kan. Lucia memang mudah lupa. Aku sendiri bertanya-tanya bagaimana mungkin orang seperti Lucia menjadi sekretaris. Bukankah harus banyak yang diingat dan diatur ya? Harusnya tuh bukannya kerjaan sesuai dengan kapabilitas kita, seperti aku yang suka nawar menjadi Procurement Staff.
"Sorry Mbak, nggak kenal, eh nggak ingat," kata Lucia sopan kepada makhluk berjilbab yang sedang melirik ke arah teman-temannya yang mengkodenya untuk duduk bersama mereka.
"Mbak Retna," ujarnya sambil tersenyum manis. Manis banget. Jujur aku suka binar matanya saat tersenyum.
"Di Jogja, kita satu kost. Kamar kita berseberangan. Kamu selalu pulang, mengetuk kamarku, dan duduk berlama-lama menonton tivi sambil makan. Kalau senggang, sore-sore kita lari sore bersama. Udah ingat?"
"Masa iya kamu Mbak Retna?" tanyanya nggak percaya dengan penjelasan si bola mata manis itu.
Retna mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sebuah handphone. Ada makhluk kuning kotak bergelantungan di salah satu sudutnya, dengan wajah penuh dnegan cengiran lebar dan mata ceria, Spongebob.
Lucia lantas memeluknya dan membuat pengakuan romantis, "Mbak Retna, aku kangen sama kamu."
Mungkinkah aku seharusnya minta gantungan handphone Doraemon pada Lucia agar saat bertemu dia ingat denganku? Tapi yang menyenangkan, tanpa itu dia mengingatku. Ah, mengharukan.

"Teman-teman sindikat TBC?" tanya Retna sambil menatap kami satu persatu dengan tidak percaya.
"Tidak butuh cinta?" lanjutnya.
Kami semua speechless, seolah-olah udah nggak pantas lagi di umur seginian bertingkah pola aneh. Aduh jadi malu, ini kan ideku ya?
"Aku gabung ya!" seru Retna dengan riang gembira.
Sekarang gantian mataku yang berbinar, Tuhan itu ajaib!
"Aku kepingin buktiin sama ibu dan bapak, kalau wanita yang sukses itu yang dapat bekerja profesional layaknya lelaki, bukannya wanita yang punya suami sukses. Jadinya, aku nggak ada pikiran untuk menggaet lelaki manapun, aku hanya ingin sampai di puncak karir, tanpa kehadiran cinta yang mengganggu karir."
Satu sudut pandang lagi, dan aku salut pada Retna yang baru aku kenal ini. Dia ingin sukses, bukan punya sumai yang sukses. Memang aneh ya kenapa sih wanita nggak boleh sesukses laki-laki? Kalau wanita itu sukses, kan laki-laki juga yang bangga. Atau jarang sekali ada laki-laki yang sukses ingin bersanding dengan wanita yang sukses?
Retna yang tampak sekilas sopan dan pemalu itu ternyata orangnya sangat terbuka pada orang-orang yang dianggap suka mendengarkan ceritanya. Meskipun pada dasarnya aku juga bawel, ada saatnya aku memang menjadi pendengar yang baik. Aku nggak suka dengan orang yang selalu ingin didengarkan, seperti jug anggak suka orang yang membuat suasana terasa dingin. Yang pas saja, ya begitulah.
Retna menceritakan bahwa dia adalah bungsu dari 8 bersaudara. Ayah dan ibunya adalah buruh tani, begitu juga kakak-kakak lelakinya. 2 orang kakak perempuannya digolongkan sebagai wanita yang cukup sukses di kampungnya karena bisa menggaet pegawai pemerintahan. Jauh di lubuk hatinya, menurutnya kedua kakaknya bisa jauh lebih sukses daripada itu. Mereka cantik dan pintar. Dewi, kakak perempuan tertuanya merelakan beasiswa untuk kuliah di Universitas Padjajaran, karena tidak direstui kedua orang tua dan keburu dijodohkan dengan Rendra yang bekerja sebagai staf walikota Yogyakarta. Demikian juga dengan Asti, kakak perempuannya satu lagi yang sangat ingin menjadi penyuluh KB terpaksa mengikuti jejak Dewi dengan menikah. Banyak orang yang nggak sanggup mengecewakan orangtua dan mengorbankan potensi diri serta cita-cita. Contoh-contoh nyata tersebut menjadi cambuk bagi Retna untuk membutktikan kesuksesan dengan caranya sendiri.
Aku merenungkan kisahnya dan berpaling ke kisahku. Mama dan Papa keduanya bekerja, dan aku lihat mereka nggak ada masalah. Papa seorang dokter umum dan mama seorang dokter gigi. Mungkin karena kesibukan masing-masing dan pengabdiannya pada masyarakat, tak ada yang dipandang sebagai persaingan. Mereka bahu membahu membagi waktu untuk membesarkan ketiga putri mereka: Fiana, Diana, dan aku: Triana. Walaupun Mama dan Papa sibuk, rasanya kita bertiga nggak kekurangan kasih sayang. Biasa saja, hepi-hepi saja. Itu salah satu bukti wanita yang sukses bersanding dengan pria yang sukses dan tetap bahagia.
Aku rasa sindikat ini bukan untuk anti-pria, tetapi hanya semacam sekumpulan wanita yang merasa tidak butuh cinta dari pria untuk merasakan kebahagiaan, dan itu nggak salah dong?

Hari ini adalah hari yang bersejarah dalam hidupku. Banyak hal yang aku dengarkan dan resapi hari ini.
Aku sendiri bertanya-tanya: seberapa yakin sih aku untuk hidup tanpa cinta lelaki?
Kalau saja Rio hadir sekarang di depanku, mungkin keteguhan hatiku ini akan goyah. Aku dan Rio. Aku mencintai Rio, tetapi Rio yang nggak suka dengan hubungan jarak jauh. Aku menjadi sangat membencinya karena itu.
Kemudian aku rasakan hari-hariku tanpa Rio, dan dengan malas melirak lirik atau kenalan dengan orang yang bermaksud menjalin hubungan cinta denganku. Hasilnya: kuliahku bagus, kegiatan organisasi dan kepanitiaan yang menyenangkan mengisi hari-hariku, begitu juga dalam berkarir aku nggak harus minta pendapat cowok.
Mungkin aku sama seperti Ci Pam yang mencintai lalu terluka, sementara Lucia dan Retna seolah nggak butuh cinta karena mereka belum merasakan manisnya dan sakit hati yang ditimbulkannya.
Ci Pam menoelku untuk segera masuk ke ruang karaoke. Sudah giliran kami ternyata. Aku, Ci Pam, dan Lucia pamitan pada Retna, dan kami berempat berjanji untuk bertemu lagi seminggu kemudian.

Words count: 1040

Tidak ada komentar:

Posting Komentar